BerandaDaerahPro Kontra Lahan Dam Baloi Batam Ada Aroma “Korupsi”

Pro Kontra Lahan Dam Baloi Batam Ada Aroma “Korupsi”

Author

Date

Category

Jakarta, Triknews.co-Persoalan lahan Dam Baloi Batam, Provinsi Kepulauan Riau, atau yang sering disebut Baloi Kolam sampai hari tak kunjung selesai.

Pro kontra pun terus mewarnai soal status kepemilihan lahan tersebut. Dampaknya, sering terjadi kerusuhan dan kontak fisik dalam penyelesaian lahan, yang sudah dihuni masyarakat puluhan tahun tersebut.

Hasil investigasi tim Redaksi, menunjukkan bahwa keributan yang sering muncul terkait dengan kasus lahan ini, karena masing-masing pihak mengklaim sebagai pemililk lahan.

Warga yang menghuni di lahan tersebut mengaku sejak turun temenurun dan puluhan tahun sudah tinggal di daerah itu. Sementara pihak lain yang sudah membayar UWTO juga mengaku sebagai pemilik.

Meski sudah dilakukan berbagai mediasi, namun pihak terkait dalam hal ini penentu kebijakan masalah lahan di Batam, tetap belum bisa memberikan jawaban pasti. Wajar jika masing-masing pihak merasa saling memiliki.

Hasil referensi dari berbagai pihak, lahan yang luasnya 119,6 hektare yang terletak di kecamatan Batam Kota ini dulunya adalah hutan lindung yang sudah dialihfungsikan pada 30 Desember 2010.

Alihfungsi hutan lindung Dam Baloi ini, ditandai terbitnya dua Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) yakni No. 724/menhut-II/2010 tentang Penetapan ke Hutan Lindung Tembesi seluas 838,8 hektare, dan SK No. 725/menhut-II/2010 tentang pelepasan kawasan Hutan Lindung Dam Baloi seluas 119,6 hektare.

Surat Keputusan (SK) Menhut itu diserahkan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada masa itu kepada Walikota Batam yang saat itu dijabat Ahmad Dahlan, dan Ketua Otorita Batam yang sekarang berganti nama Badan Pengusahaan (BP) Batam yang masih dijabat Mustofa Widjaja.

Hasil penelusuran tim redaksi, perjalanan bagaimana lahan tersebut kemudian beralih fungsi perjalanannya dimuai sejak
– Tahun 2004. Lahan seluas 119 ha dialokasikan untuk 12 perusahaan.
– Tahun 2010 Kemenhut mencabut status hutan lindung Baloi
– Tahun 2016 perusahaan mulai melakukan pematangan lahan
– Tahun 2017 keluar LO Kejagung aktivitas lahan dihentikan.
Sementara perusahaan yang sudah membayar UWTO itu dengan tarif Rp.51,740 per meter masing-masing adalah:

1. PT Alfinky Multi Berkat Rp.15,325 miliar
2. PT Mega Indah Propertindo Rp.10,353 miliar
3. PT Baloi Newton Rp. 7,76 miliar
4. PT Sat Nusapersada Rp. 2,58 miliar
5. PT Tesagus Rp. 515,5 Juta
6. PT Citratama Buana SA Rp. 1,035 Miliar
7. PT Majesti Prima B Rp. 2,338 Miliar
8. PT Citra Lembayung Rp. 1,035 Miliar
9. PT Bursa Properti Rp. 2,069 Miliar
10 PT Crystal Utama M Rp. 1,07 Miliar
.
Hebatnya pula, BP Batam kala itu mengeluarkan kebjiakan baru, yang menyebutkan kalau 12 Perusahaan yang sudah memiliki PL di lahan seluas 119,6 hektare itu, tidak punya hak untuk melanjutkan pengelolaan Dam Baloi atau Baloi Kolam.

Alasannya ? disebutkan kalau BP Batam tidak bisa memberikan Surat Keputusan (SKEP) dan Surat Perjanjian (SPJ) pengelolaan Baloi Kolam, karena masih ada Aset Negara berupa Dam yang diakui sebagai milik Kementerian Keuangan.

Wajar jika para pengusaha kemudian menjadi resah, kemudian mempertanyakan uang UWTO yang sudah dibayarkan. Persoalan menjadi makin seru, ketika kemudian mencuat isu pengalihan lahan dan pemberian pengelolaan lahan kepada para pengusaha tersebut sarat dengan kasus korupsi.

Dari berbagai referensi yang diperoleh tim redaksi menyebutkan, proses alih fungsi hutan lindung Baloi ini diduga sarat dengan korupsi miliaran rupiah.

Apakah sebagian UWTO dari lahan Baloi Kolam mengalir ke sejumlah pejabat BP (dulu Otorita Batam) dan Pemko Batam ? Pertanyaan itu sampai hari ini juga belum terjawab dengan jelas.

Dugaan adanya tindak pidana korupsi terkait lahan Dam Baloi tersebut bisa saja terjadi. Buktinya hasil penelitian tim redaksi pada kasus ini, sempat mendapat perhatian tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Saat itu, Ketua KPK Antasari Azar turun langsung ke Batam. Beberapa orang sempat dimintai keterangan di Mapolresta Barelang. Termasuk Ismeth Abdullah.

Mereka yang kala itu dimintai keterangan dari Otorita Batam adalah Agus Hartanto, Daniel Yunus, dan Umen Darsono. Sedangkan dari Pemko Batam adalah Agus Suhiman, Suhartini dan Abang Muzni.

Sementara anggota dewan yang kala itu dimintai keterangannya adalah Sahat Sianturi.

Lantas banyak pihak yang bertanya ketika itu, kenapa kasus ini terhenti di jalan. Penyelidikan kasus ini kemudian tak berlanjut. Bahkan pada 30 Desember 2010 hutan tersebut resmi beralih fungsi.

Peristiwa itu diitandai terbitnya dua Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) yakni No. 724/menhut-II/2010 tentang Penetapan Kawasan Hutan Lindung Tembesi seluas 838,8 hektar, dan SK No. 725/menhut-II/2010 tentang pelepasan kawasan Hutan Lindung Baloi seluas 119,6 hektar.

Kedua SK Menhut itu diserahkan Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan kepada Walikota Batam, yang saat itu dijabat Ahmad Dahlan dan Ketua Badan Pengusahaan (BP) Batam yang masih dijabat Mustofa Widjaja.

Saat itu Zulkifli Hasan mengatakan terbitnya SK Menhut tentang Pelepasan Status Hutan Lindung Baloi dan dikeluarkannya SK Menhut tentang Hutan Lindung Tembesi, mengakhiri gonjang-ganjing permasalahan alih fungsi Hutan Lindung Baloi.

Namun gonjang-ganjing itu berlanjut. Pemilik PL tak bisa melanjutkan aktivitas membangun Baloi Kolam menjadi land mark baru Kota Batam. Baloi Kolam pun kini tetap menjadi lahan tidur terluas di Kota Batam.

Apakah betul alokasi lahan baloi kolam tersebut dinilai sebagai penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oknum, yang Juga karena ada konspirasi dengan para pengusaha yang mendapatkan lahan itu?

Tidak mungkin juga pengusaha yang mendapat klaim lahan di sana tidak tahu menahu mengenai polemik ini. Pasalnya sudah jelas status awalnya adalah hutan lindung.
Logikanya, jika dialokasikan pasti akan bermasalah, tapi para pengusaha tetap menerima lahan tersebut dan mau menyetor UWTO penuh sebelum status peralihan hutan lindung ke HPL keluar.
Tak salah jika ini yang namanya “kong kalikong” antara pengusaha dan penentu kebijakan. Pengusaha perlu lahan, penguasa perlu uang. Wajar jika banyak pihak yang menghendaki dugaan tindak pidana korupsi ini dikuliti.
Tim investigasi Redaksi, memperoleh bukti jika upaya “kong kalikong” untuk mendapatkan lahan di Dam Baloi tersebut, terlihat dari surat pernyataan dua pengusaha yang sanggup memberikan fee jika semua urusan beres. (gambar terlampir)
Sementara itu, soal bagi-bagi Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) sebesar Rp 44,028 miliar dari Baloi Kolam, termasuk Rp 20 miliar lebih ke Pemko Batam, saat itu Pemko Batam pun mengakui dan bersedia mengembalikan uang para pengusaha.
Pendapat hukum Kejagung seharusnya bisa menjadi referensi bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut menelisik dugaan korupsi terkait lahan di Dam Baloi.
Sebab, aroma bau tak sedap terkait dengan kasus Dam Baloi tersebut sudah menjadi rahasia umum. Kabarnya banyak pihak yang punya kepentingan di lokasi ini.

Sampai hari ini kabarnya para pengusaha tersebut masih berharap bisa membangun kawasan itu. Selain letaknya yang trategis, para pengusaha ini juga sudah mengeluarkan banyak uang.

Kasus siapa yang memberi suap dan siapa yang menerima suap dalam kasus Dam Baloi, juga menyisakan pertanyaan besar. Sejak era Antasari Azhar yang coba menguliti kasus tersebut, sampai hari ini KPK pun belum berani menyentuh kembali kasus dan Baloi.

Entak karena takut ketahuan, atau alasan lain nyatanya banyak pengusah yang enggan menanggapi, upaya Pemko Batam untuk mnengambalikan uang mereka.

Kabarnya BP Batam sudah sering menghubungi perusahaan untuk mengirimkan rekening mereka, agar uangnya dikembalikan, namun pihak perusahaan menolak.

Boleh jadi penolakan para pengusaha ini, untuk menghindari dugaan kasus penyuapan, atau karena mereka masih tetap berharap lahan Dam Baloi bisa dibangun.

Jika faktanya demikian maka tak ada pilihan lain kecuali BP Batam bekerjasama dengan Pemko Batam dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk medorong agar PL yang sudah didapatkan pengusaha dilanjutkan dan semua hambatan bisa diselesaikan.

Para pengusaha ini pun menilai bahwa LO Jamdatun itu bukanlah sesuatu yang final atau inkrah. Itu baru pendapat. Jadi, wajar jika jalan review ulang, dan mengurus HPL-nya karena HPL terakhir yang menentukan adalah BPN.

Hasil pantauan redaksi, konsidi fisik Dam Baloi kini menjadi makin pelik. Belum tuntas status kepemilikannya, kini kondisi fisik Dam Baloi makin carut-marut dengan menjamurnya rumah liar.

Data yang dihimpun Redaksi, jika pada 1980-an hanya dihuni puluhan hingga ratusan kepala keluarga, kini dihuni sekitar 3.500 KK dengan estimasi jumlah penduduk 16 ribu jiwa yang menempati 5.600 unit ruli.

Sempat beberapa kali dilakukan upaya penggusuran, namun selalu gagal. Termasuk pada 2016 dan 2017. Warga Baloi Kolam melakukan perlawanan karena merasa memiliki hak atas lahan tersebut. Mereka telah menempati lahan itu jauh sebelum hutan lindung Baloi Kolam dialihfungsikan.

Solusi terbaik untuk merelokasi warga di kawasan Dam Baloi adala dengan cara menata lahan Baloi Kolam beserta masyarakat yang menghuninya. Caranya adalah membangun rumah vertikal di Baloi Kolam. (red)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Linda Barbara

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum imperdiet massa at dignissim gravida. Vivamus vestibulum odio eget eros accumsan, ut dignissim sapien gravida. Vivamus eu sem vitae dui.

Recent comments

- Advertisement -spot_img