Jacob EresteĀ
Gawat juga gagasan Prof. Yudhie Haryono menggagas agar ada revolusi konstitusi. Sebab konstitusi kita adalah buah nir-militer dengan metode legal walfare yang memanfaatkan komprador lokal sebagai sebagai proxy pemjajah.
Akibatnya, kedaulatan warga negara tidak lagi di tangan rakyat, karena telah diambil alih secara konstitusional oleh Parpol dan oleh oligarki jahat. Maka itu prinsip rule of law berubah menjadi rule by law yang telah melahirkan negara swasta. Aryinya, Prof. Yudhie Haryono hendak mengatakan, kekuasaan negara dikendalikan sepenuhnya oleh para cukong.
Semua itu ditandai oleh mental Pancasila pengkhianat utamanya para penyelenggara negara, meski backing vokalnya telah dinarasikan dengan ditampilkannya BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) yang semakin tidak jelas juntrungannya itu. Seban para pembinanya sendiri tidak jelas memiliki jaminan lebih Pancasilais dari warga masyarakat kebanyakan yang lain.
Maka itu, jika tidak ada tindakan revolusioner, semua akan tinggal nama belaka, tandasnya. “Negara Pancasila sudah ditaklukkan dengan mengganti UUD 1945. Sehingga Prof. Yudhie Haryono menyimpulkan, warga bangsa Indonesia menjadi seperti hantu yang bergentayangan tanpa visi untuk membangun pradaban dunia yang lebih baik dan lebih bermutu.
Yang lebih gawat adalah pertanyaanĀ tentang aksiologi kolonial dalam usaha stabilitas untuk merampok SDA (Sumber Daya Alam) negara Indknesi postkolonial. Maka itu yang terjadi kata Prof. Yudhie Haryono adalah (1) mendesain mental kolomial, (2) mendesain nalar — pikiran — kolonial dan (3) memberi tafsir konstitusi ala (model) kolonial.
Padahal, konstitusi ditegakkan untuk membangun tatanan negara yang berlandaskan hukum, keadilan, kesejahteraan dan demi kebahagiaan untuk semua warga bangsa (negara) tanpa kecuali untuk anak turunan penguasa maupun pengusaha yang sudah sedemikian berkuasa di negeriĀ ini.
Konstitusi yang mengurai sendi-sendi pokok hukum dan aturan yang memiliki sifat fundamental — mengikat — bagi semua warga negara dan terselenggaranya cita-cita bersama dengan jaminan yang pasti dan nyata. Tidak kaleng-kaleng istilah slengekan yang populer di Medan, Sumatra Utara.
Jadi konstitusi itu,Ā adalah hukum, cita-cita, target atau tujuan serta roadmap untuk tatanan suatu negara yang berdasarkan hukum. Jadi bukan klam-klaim belaka, sehingga realitasnya tidak sesuai dengan apa yang dilakukan di lapangan atau kejadian nyata dalam masyarakat.
Konstitusi — sebagaimana seharusnya UUD 1945 — adalah keseluruhan peraturan yang tertulis maupun tidak tertulis untuk mengatur dengan cara yang mengikat suatu pemerintahan agar dapat diselenggarakan secara baik dan benar. Tanpa penyelewengan, apalagi pengkhianatan seperti yang telah berulang kali terjadi di Indonesia.
Dalam konteks amandemen UUD 1945 — yang sudah berkali-kali dan masih ingin dilakukan lagi dalam guna memuluskan jabatan presiden agar bisa lebih dari dua periode — maka kerusakan konstitusi itu jadi merusak banyak unsur negara lainnya serta hancurnya kehidupan bangsa. Dan menurut Prof. Yudhie Haryono, dari tesis inilah lahirnya diktum ; jika ingin melanggengkan tanah jajahan, tak usah nengirim semilyar pasukan dan berjuta bom nuklir. Cukup kirim draft perubahan konstitusi, maka negera tersebut akan akan bertekuk lutut seperti keinginan kaum penjajah tersebut.
Kini sudah hampir seperempat abad proses penjajahan Indonesia dalam bentuk yang baru oleh para penjahat dan pengkhianat bangsa dan negara ini. Karena itu pertarungan legalisasi sebagai kelanjutan dari revolusi mental — dan mestinya etika, moral dan akhlak serta nalar yang waras — fukos perjuangan harus terhadap revolusi konstitusi. Atau, reclaim the constitution. Hanya dengan begitu, cita-cita negara dan janji konstitusi yang sesuai dengan ruh dan jiwa proklamasi untuk menjamin keadilan dan kebahagiaan bagi segenap warga bangsa tanpa kecuali.
Tapi juga untuk menerima dan mendukung adanya revolusi konstitusi seperti yang diidealkan oleh Prof. Yudhie Haryono, toh tetap diperlukan landasan etika, moral dan akhlak yang harus menjadi dasar pijak para pelaku yang kompeten dan merasa serta menyadari adanya keharusan untuk melakukan semua itu.
Banten, 18 Desember 2022
*Paparan ini sepenuhnya mengacu pada gagasan Prof. Yudhie Haryono yang ingin adanyaĀ “Revolusi Konstitusi” di negeri ini.*