BerandaUncategorizedMengenal Ritual "Papurpur Sapata" dari Suku Batak

Mengenal Ritual “Papurpur Sapata” dari Suku Batak

Author

Date

Category

Triknews.co- Beragam kebudayaan berada di Indonesia dan tentunya hal ini menjadi kebanggaan bagi kita semua karena keragaman suku budaya itu banyak mempersembahkan sesuatu yang unik dan menarik untuk ditelusuri.

Salah satunya datang dari suku Batak Toba, dimana Suku Batak dikenal sangat identik dengan falsafah hidup yang berbunyi, Hamoraon, Hasangapon dan Hagabean. Hamoraon berarti cukup secara materi dan Hasangapon yang berarti dihargai dan sangat dihormati di tengah masyarakat, bisa jadi karena jabatan atau berpengaruh (ketokohan), serta Hagabeon yang berarti mempunyai keturunan Laki-laki dan perempuan sebagai generasi penerusnya.

Dari perspektif psikologi dan antropologi, jika tiga hal ini sudah dicapai, kerap membuat suku Batak terlihat bersifat keras, terkesan angkuh dan lumayan susah diperintah. Makanya tidak heran, di antara sesama suku Batak sering kali timbul perselisihan. Bahkan, tidak jarang abang-adik kandung terlibat permusuhan hanya karena masalah sepele.

Pada tulisan kali ini, akan menelisik sedikit, bagaimana mempersatukan satu garis keturunan yang penuh dengan konflik. Sebelumnya, masalah ini sudah penah dilulas, tentang Mangallang lombu sitio tio.

Ritual Mangallang lombu sitio tio ini mempunya tingkatan. Dari tingkat Ompung sampai ke tingkat Oppu parsadaan. Biasanya masih diawali dengan perselihan yang dulunya kecil. Namun karena tidak langsung diselesaikan sehingga menimbulkan dendam yang turun temurun, layaknya bom, yang suatu saat dapat meledak.

Pada umumnya memang situasi itu terjadi dalam pembagian harta warisan, pusaka, harajaon dan masih banya bentuk-bentuk lainnya yang sangat rentan untuk menimbulkan perselisihan.

Bahkan bisa juga dalam pembagian ternak yang disebut parjambaron. Pernah ada cerita di suatu daerah ada pembagian ternak, namun ternyata salah seorang di antara abang beradik terlambat datang sehingga si abangan memberikan kotoran ternak yang sudah selesai disembelih itu pada adiknya yang terlambat.

Kisah itu menyebutkan, si adik mau tidak mau harus menerima kotoran ternak yang diberikan itu. Dia lalu pergi ke Galapang (biasanya tempat sesajen) dan meletakkan bungkusan berisi kotoran tadi seraya Martonggo. Tonggonya kira-kira demikian.

“Ale Ompung Muladi Nabolon, Jambar Hu Do Hujalo Hape Dilean Kotoran Ni Dorbia I Soara Nitakkena, Nasojadi Bereng Okku Timpulni Apina Nasojadi Begeokku Baritana. Ho Ma Na Mamboto Di Si Ale Oppung Mulajadi Nabolon”.

Kemudian dia langsung memasak kotoran tadi lalu dimakan. Sungguh suatu sumpah yang sangat menyeramkan. Membacanya saja membuat bulu kuduk kita merinding.

Berhubungan Rumah Tradisional Batak Toba memang menurut cerita, generasi si abang-an (pemberi kotoran) telah menerima hukum karma tersebut. Dikisahkan, kehidupan keturunan di pemberi kotoran, sering ditimpa masalah. Sementara keturunan penerima kotoran tadi, anteng-anteng saja dalam menjalani kehidupan.

Saking menderitanya pomparan (keturunan) yang memberikan kotoran ternak tadi, membuat pertanyaan yang mendalam dalam benak mereka. Apa yang salah ini Tuhan? Generasiku sama-sama bekerja dan sama-sama berpendidikan, tapi dalam kehidupan sunggu jauh berbeda.

Pada masa itu, hal yang lumrah untuk bertanya kepada datu (dukun). Kemudian pergilah mereka Marboru tuatua (berdukun), menanyakan pergumulan mereka itu. Benar saja, ternyata datu menyimpulkan ada sesuatu yang salah di hulu garis keluarga. Kelakuan ompung mereka sebagai pamoppar dulunya sangat kejam.

Singkat certita, agar penderitaan itu usai, sang Datu pun memberikan petuah. Mereka harus melakukan upacara Papurpur Sapata. Caranya, memotong seekor anak ternak babi (lomok) yang diaduk bersama nasi. Lalu olahan makanan tadi harus diletakkan di galapang. Syarat berikutnya, generasi dari kedua belah pihak harus hadir di sana dan berdoa bersama dengan memegang sirih.

Setelah itu salah satu keturunan dari yang memberi kotoran tadi martonggo. Kisah ompung mereka yang diungkap Datu tadi, membuat tonggo itu sangat memilukan. Kira-kira demkian isi tonggo itu.

“Ima oppung Mulajadi nabolon. Adong oppung nami mangulahon naso patut mangulahon naso uhum. Sae mae i oppung, unang be manginsobbut tu hami pinomparna. Mapurpurma i tu alogo, marsar-sar ma i tu udan”.

Kemudian keturunan yang menerima kotoran tadi pun Martonggo. “Ima tutu oppung Mulajadi nabolon. Nungnga mangakku nasida dihasalaan i ni oppu nasida. Marhite na hu pangan hami indahan nasinaoron on, marsaor ma daging nang dohot tondinami”.

Hal diatas merupakan penjabaran sekelumit adat budaya “Papurpur Sapata” yang harus kita lestarikan karena merupakan kekayaan kearifan lokal kita sebagai bangsa Indonesia.

(Sumber: idninna.id)

Editor: RS

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Linda Barbara

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Vestibulum imperdiet massa at dignissim gravida. Vivamus vestibulum odio eget eros accumsan, ut dignissim sapien gravida. Vivamus eu sem vitae dui.

Recent comments

- Advertisement -spot_img