Riau, Triknews.co- Akhir-akhir ini para petani sawit mengeluh setelah beberapa waktu lagi sempat para petani gembira karena harga TBS sempat naik karena itu, petani sawit meminta pemerintah untuk segera mengatasi anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang tidak bisa menutupi beban biaya produksi saat ini. Kebijakan percepatan ekspor sawit dinilai belum maksimal lantaran banyaknya hambatan regulasi dan tarif pungutan maupun bea keluar.
Bobby Sinaga, Petani Sawit Swadaya asal Rokan Hilir, Provinsi Riau mengatakan, kondisi saat ini banyak petani sawit yang terpuruk karena pabrik juga menunda pembelian hasil panen petani akibat harga TBS yang tidak bersahabat.
“Ini disebabkan kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan tujuan percepatan ekspor. Intinya kami ingin ada pembenahan kebijakan dari pemerintah agar dapat mendongkrak harga TBS petani,” ujar Bobby kepada wartawan, Selasa (5/7).
Turunnya harga tidak sebanding dengan kenaikan biaya pokok produksi di atas Rp 1.800/kg. Petani sawit harus menanggung kerugian lantaran harga pupuk dan pestisida ikut meroket. Tak heran, banyak petani sawit yang membiarkan buah membusuk di pohon lantaran rendahnya harga di sisi lain biaya panen dan perawatan mengalami kenaikan.
Bobby Sinaga.
“Banyak petani yang sulit lagi bertahan hidup. Untuk bisa menyambung hidup, mereka terpaksa ambil pekerjaan lain seperti menjadi buruh. Adapula, petani yang menanam tanaman tumpang sari karena untuk menutupi kekurangan biaya,” lanjutnya.
Dijelaskan Bobby, Diperkirakan pendapatan petani sawit sudah hilang lebih 65 persen. Kendati berat menanggung kerugian, petani berusaha merawat dengan melakukan pemupukan untuk menjaga produktivitas. Karena kondisi harga TBS tinggi maupun rendah perawatan kebun tetap harus dilakukan. Harus diakui rerata harga TBS saat ini sekitar Rp 1.230/kg sebenarnya tidak akan menutup untuk biaya perawatan dan produksi.
“Bahkan, ada petani yang sudah membiarkan kebun karena tidak memiliki biaya untuk panen dan merawat kebun, tetapi kalau saya masih tetap memanen walaupun harganya rendah. Harga pupuk tinggi, maka petani tertekan dua kali harga rendah dan harga pupuk tinggi. Ongkos panen naik juga naik berlipat-lipat,” jelas Bobby.
Kenaikan biaya pupuk dan pestisida ini juga berdampak kepada program Peremajaan Sawit petani. Untuk itu, kami berharap pada pemerintah supaya membenahi regulasi dan skema pungutan di ekspor sawit. “Kebijakan cepat perlu dilakukan karena daya tahan petani tidak bisa lama,” tegasnya.
Langkah lain adalah benahi harga pupuk dan pestisida. Bobby mengatakan pupuk menjadi komponen penting menjaga produksi tanaman. Tanpa adanya kebijakan cepat dan menyeluruh dapat dipastikan petani tidak akan selamat.
“Kita semua harus bersama menyelamatkan petani sawit di Indonesia. Jika tidak dilakukan, dapat dipastikan ekonomi di daerah akan ambruk,” jelasnya.
Mewakili suara petani, Bobby mengharapkan harga TBS sawit kembali normal di atas Rp 2.500/kg. Makanya, kebijakan yang memberatkan ekspor harus ditunda dulu agar mempercepat kenaikan harga TBS.
“Kemudian, biarkan mekanisme pasar berjalan. Sebenarnya, tidak terlalu rumit percepat ekspor CPO otomatis harga TBS berangsur membaik/normal. Ini yang kami harapkan. Kebijakan terkait ekspor yang saat ini dikeluarkan pemerintah sangat merugikan petani kecil,” harapnya.
Ia menjelaskan, pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan ekspor yang membuat tanki penyimpanan pabrik penuh. Keinginan pemerintah mempercepat ekspor faktanya kontradiktif dengan kebijakan yang dibuatnya. Penerapan kebijakan bea keluar, pungutan ekspor, dan flush out ditambah Domestic Market Obligation dan Domestic Price Obligation mengakibatkan ekspor melambat.
Setelah dihitung, beban ekspor yang harus ditanggung 688 dolar AS/ton atau sekitar Rp 11.000/kilogram. Terdiri dari bea keluar 288 dolar AS/ton, pajak ekspor 200 dolar AS/ton, dan flush-out 200 dolar AS/ton. Ini berarti, beban ekspor tersebut sekitar 46 persen dari harga CPO global 1.500 dolar AS/ton atau rerata Rp 21.000/kilogram.
Bobby menjelaskan, beban yang harus ditanggung eksportir sangatlah berat dengan skema tarif pungutan ekspor, bea keluar, dan flush-out. Akibatnya pembelian CPO di pabrik sawit menjadi tersendat. Situasi inilah yang membuat buah sawit petani tidak laku dijual.
Untuk itu, dikatakan Bobby, diharapkan emerintah segera mengurangi regulasi/kebijakan yang memberatkan atau memperhambat ekspor. Dan harga pupuk/pestisida disesuaikan agar petani sawit tidak tertekan dengan tingginya harga pupuk.
“Kami ingin pemerintah segera membenahi regulasi ekspor sawit. Kalau judulnya percepatan ekspor, jangan ditambah bebannya yang mempersulit eksportir. Harapannya jelas, petani sawit kembali sejahtera karena harga TBS dapat terdongrak. Begitupula negara kembali memperoleh pendapatan dari sawit,” pungkas Bobby.( RM. Id/Editor: Arendy)