Banten, Triknews.co-Yang disuap dan menyuap dalam upaya meloloskan suatu keinginan seperti ingin memasukkan anak kuluah ke perguruan tinggi seperti di Lampung misalnya, secara hukum semua pihak yang terlibat patut dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat keterlibatan dan peranannya dalam tindak kejahatan itu.
Warga masyarakat yang rewel serta aktif memelototi proses penyelesaian kasus itu, karena tidak ingin adanya perlakuan yang tidak adil, atau bahkan terjadi suap menyuap lebih lanjut untuk membekukan kasus tersebut.
Secara Etika dan moral hingga akhlak, sejumlah pihak yang terlibat dalam perilaku yang tercela itu membuktikan bila kemerosotan etika, moral dan akhlak sudah menggerogoti perguruan tinggi maupun persepsi salah kaum elite di negeri ini.
Dari pengakuan sang rektor yang menjadi tersangka utama di KPK, nama sejumlah orang tua calon mahasiswa perguruan tinggi lewat jalur mandiri  di Lampung itu pada KPK (9/9/2022) dari kalangan politisi, mantan kepala daerah anggota DPRD Provinsi Lampung dan DPR RI dan pengusaha.
Jadi jelas mereka yang menyuap itu adalah orang pintar, kaya dan tokoh masyarakat yang sepatutnya menjadi contoh maupun panutan bagi warga masyarakat kebanyakan.
Hasrat untuk memaksakan anak maupun anggota keluarga bisa masuk perguruan tinggi dengan cara menyogok itu jelas akibat dari kesalahan umum yang terjadi dalam masyarakat, bila ijazah perguruan tinggi itu sudah menjadi berhala sesembagan yang bisa mendongkrak derajat dan harga diri — meskipun semu — untuk kemudian menjadi syaratan formal utama untuk memperoleh pekerjaan atau jabatan pada suatu instansi pemerintah maupun yang swasta. Jadi masuk perguruan tinggi itu sekarang semakin nyata bila bukan ilmu dan pengetahuan yang diinginkan, seperti kemudian yang terus berkembang ang dalam transaksi jual-beli ijazah, atau memalukan sendiri ijazah yang telah menjadi sesembahan itu dengan berbagai cara dan modus tercanggih yang semakin gampang digunakan pada era digital sekarang ini.
Kepongahan akademik yang selama tak sadar telah dibangun mulai menuai buahnya sekarang, sehingga takaran intelektualitas harus digelayuti sejumlah gelar tidak kecuali dari institusi agama atau adat yang juga terkesan mengumbar bagi mereka yang tergila-gila untuk menempelkan gelar yang semu itu di depan maupun di belakang namanya.
Fenomena inilah yang menandai kemerosotan etika (tidak bermalu) moral (tidak merasa berdosal) tidak berakhlak (tidak memiliki kepribadian yang utuh) sebagai manusia ciptaan Tuhan yang lebih mulia disebut kalifatullah di muka bumi.
Karena itu, untuk menghentikan laju kebobrokan etika, moral dan akhlak manusia Indonesia yang sedang terjadi hari ini, perlu upaya memusnahkannya mulai dari prnyohok, yang tersogok serta mereka yang ikut memutuskan cara busuk itu hingga aparat penegak hukum yang ada di lapangan sampai yang ada di meja persidangan. Jika tidak, maka kerja perselingkuhan seperti itu — mavia kasus dan mavia peradilan — masih akan memberi peluang tumbuh suburnya perilaku curang dan culas yang sangat berbahaya bagi masa depan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibangun dari kebersamaan suku bangsa Nusantara yang pernah berjaya pada masanya.
Adapun rute nampak tilas menuju masa kejayaan yang pernah diraih suku bangsa Nusantara itu, bisa ditelusuri melalui jalan spiritual yang tak lengah dan abai pada Tuhan Yang Maha Esa, seperti yang sudah ditulis dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Banten, 12 September 2022