Oleh: Jacob Ereste
Karma itu boleh juga dipercaya pun bisa tidak. Tergantung keyakinan bagi setiap orang terhadap agama yang tidak bisa dipaksa oleh siapa pun, termasuk orang tua sendiri yang meniliki otoritas lebih dibanding orang lain. Apalagi hanya sekedar atasan dari sebuah instansi msuoun perusahaan yang menjadi tempat menggantungkan sumber nafkah untuk hidup bagi diri sendiri mapun keluarga.
Ketika ada yang mau melakukan tawar menawar atas keyakinan yang telah menjadi ketetapan hati, inilah salah cara menakar otentisitas dari keyakinan itu terbilang tangguh atau tidak melekat diantara relung jiwa dan hati yang sejati. Sebab keikhlasan dan sikap yang kukuh hanya diri kita sendiri pula yang tahu bersama Tuhan. Karena itu, kejujuran yang utama dan mutlak itu pun hanya ada pada diri sendiri. Lalu perasaan nyaman dan aman serta ketenteraman hati sejatinya ada pada kemauan serta kemampuan diri sendiri. Maka itu, takaran kekayaan pun menjadi sangat tergantung dari kearifan dalam kemampuan dan kemauan menakar diri dengan ugahari
Oleh karena itu, nilai kekayaan bagi kaum sufi tidak dihitung dari seberapa banyak harta dan kekayaan yang bisa dimiliki, tetapi seberapa banyak seseorang mau terus memberi bagi orang lain, kendati dirinya sendiri tidak pernah berlebih. Karenanya, kaum sufi acap terkesan menilai kekayaan yang tidak harus terlihat secara fisik, karena kaum sufi itu memang berada pada habitat non fisik — spiritual, religius, batin dan roh bahkan untuk semua hal yang ghaib — semua itu sungguh sulit keterima oleh akal — karena akal pikiran manusia sejenius apapun tidak akan mampu melampaui wilayah jelajah spiritual yang jauh mampu melintasi langit.
Ketika daya nalar serta pemahaman sudah mampu menerobos dunia dan akhirat seperti itu, maka dapat dipaham bila dunia hanya jadi wilayah pembatas pada daya pikir, sementara akhirat yang tak tergapai oleh nalar — termasuk bagi akademisi yang paling kampiun sekalipun– tak mungkin dapat menjangkaunya
Oleh karena itu perilaku korup, sogok menyogok, tipu daya hingga sikap culas dan busuk, menjadi akrab dengan profedor dan doktor yang bergelar mentereng secara akademis. Dan jumlahnya tidak sedikit yang sudah terjebak — terjerembab– dalam perilaku tidak etis, amoral hingga yang tidak berakhlak. Apalagi hanya bsgi mereka yang sengaja memanipulasi agama hanya untuk penghias diri — agar bisa mengelabui orang banyak.
Perilaku yang sejati umat beragama yang sesungguhnya, sekedar untuk membentengin diri, tanpa perlu pamer atau umuk kepada orang lain. Agama adalah jilbab perisai diri bukan cuma dari berbagai kelotoran yang bernafsu menghampiri,bttetapi juga sebagai simbol dari keengganan mengundang birahi. Jadi bukan pula untuk mengelabui Tuhan.
Di dalam trend peradaban di dunia, kegelisahan jiwa yang resah akibat dari kemajuan ilmu pengerahuan dan teknologi sekarang ini yang segera akan meninggalkan revolusi babak keempat. Ketamakan dan kerakusan telah merangsang birahi untuk menjajah dan perang, tidak untuk menjajah dan memerangi bangsa maupun saudara sendiri. Sebab sudah terlalu banyak orang pintar, tetapi tidak bijak dan juga tidak berakhkak. Begitulah, kepintaran yang merusak, tak hanya alam pikiran, tetapi juga alam jiwa kemanusiaan pun terlumat pula.
Banten, 11 September 2022