Oleh: Jacob Ereste :
Setiap malam menjelang 17 Agustus dahulu di kampung kami selalu mengadakan tirakatan. Masing-masing warga mengirim makanan sesuai kemampuan dan seleranya. Tapi pada umumnya khas makanan kampung yang kami maka sehari-hari.
Dengan begitu pun semangat kemerdekaan tak perlu dibuat mewah, tapi hikmat dan penuh penghagatan kedalaman yang membayangkan kegigihan para leluhur dahulu berjuang dan merebut kemerdekaan.
Jadi, tak ada anggapan bahwa kemerdekaan itu ada pemberian dari pihak manapun. Sebab semua dilakukan dengan segenap kemampuan daya juanv yang gigih, sehingga patut diteruskan sampai sekarang.
Begitulah tirakat malam tujuh belas di kampung kami dahulu. Sekarang sudah berubah, dan peminatnya pun telah beralih selera. Tak lagi ada gairah atau pun semangat untuk menyelenggarakan tirakat seperti itu lagi.
Upacara tirakat yang berlangsung hingga sampai tengah malam itu, dilakukan dengan renungan tentang hakekat kemerdekaan sambil menikmati panganan dengan beragam minuman. Ada teh, kopi, wedang jahe, bajigus hingga skoteng yang dibuat sendiri oleh ibu-ibu di rumah. Adapun panganannya yang khas lebih beragam. Mulai dari singkong goreng hingga singkong rebus, kumpul, talas, sukun goreng, lubang sari, pisang rebus, termasuk kotak dan bubur merah putih.
Romantisme sehajarah ini agaknya memang sudah berada diujung jaman. Sebab para pelakunya sendiri saat merebut kemerdekaan bagi bangsa dan negara Indonesia dahulu itu adalah mereka yang kini berusia 80 tahun. Itu pun dalam usia yang relatif muda, baru berusia 3 tahun. Sebab usia kemerdekaan kita sendiri baru 77 tahun.
Namun begitu, jika mengikuti perjalanan revolusi– apa saja bentuknya– kondisi dan situasi bangsa kita semestinya dapat lebih jauh melesat dalam rincian peradaban yang maju. Tidak hanya pada sektor ekonomi, politik dan sosio-budaya untuk memasuki peradaban baru. Tapi ketinggalan yang banyak terasa sekali pada bidang pertani dan nelayan, sebab budaya agraris dan matitim justru terkesan diabaikan.
Begitulah suasana hidmat sepatutnya jadi penghantar memasuki detik-detik kemerdekaan yang sangat bersejarah bagi bangsa dan negara Indonesia memulai hidup baru di negeri sendiri yang merdeka, berdaulat untuk memperkuat kepribadian bangsa yang kuat dan tangguh menghadapi segala tantangan dan rintangan, seperti heroisme para pejuang kemerdekaan kita yang justru lebih bantak tidak sempat ikut menikmati hasilnya yang telah diperjuangkan dengan jiwa dan raga bahkan nyawa.
Karena itu, agak lain ceritanya sekarang. Pada detik- detik waktu kemerdekaan diproklamarkan, upacara pun yang dilaksanakan terasa kurang greget. Lantaran kemerdekaan itu sendiri seperti serimoni semata, seajan-akan baru sampai pada pintu gerbang kemerdekaan, belum memasuki palagan dari kemerdekaan yang sesungguhnya. Maka itu bisalah dipahami jika seorang kawan penulis hanya bisa menggambarkan untuk mengisi kemerdekaan ini tidak boleh lengang seperti mengisi celah di media sosial yang tidak boleh ada ruang kosong, sebab ruang yang kosong itu akan diisi oleh hal-hal yang akan bisa menggerogoti hakekat dari kemerdekaan yang sejati.
Sementara penjajahan di dunia yang telah menjadi tekad leluhur kita hendak dihapuskan, justru terjadi kembali di negeri kita ini. Akibatnya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat masih menjadi dongeng dan cerita yang perlu kembali dicerna dan dipahami untuk segera diwujudkan. Jika tidak, desintergrasi seperti yang telah menjadi salah satu sila dari Pancasila akan runtuh, katena keadilan sosial bagi seluruh rakyat tak mampu diwujudkan.
Banten, 17 Agustus 2022