Oleh: Jacob Ereste
Masalah umum yang nyaris tanpa kecuali bagi semua aktivis adalah keinginan untuk didengar dan enggan untuk mendengar. Maka itu dalam berbagai forum, kegaduhan dan silang pendapat cenderung meninggi dan memanas. Semua ingin mengedepankan pendapat, saran bahkan ide serta gagasannya untuk didukung oleh sebanyak mungkin audien yang mendengar semua ungkapan yang diutarakan dan luapan isi hatinya. Sementara dia sendiri acap lebih mengabaikan pendapat atau ide serta gagasan orang lain.
Lalu jasa dan perbuatan baik orang lain pun dominan tidak diakui, apalagi hendak dihargai misalnya dengan memberikan apresiasi. Karena yang selalu diingat adalah pemberian dan jasa baik dari dirinya yang selalu dianggap sudah sangat luar biasa itu. Meski realitasnya tidak seberapa, dan sebetulnya tidak juga perlu untuk dibanggaan sekedar untuk membesarkan diri sendiri. Karena kebesaran yang sejati itu dasarnya ada pada perbuatan baik yang nyata tiada terhingga.
Kecuali itu, semua kepongahan diri sesungguhnya tidak berguna, apalagi hendak dikalkulasi seperti berbelanja di pasar pagi.
Syahsmdan, seberapa pun nilai yang telah diberikan itu, tidaklah pantas dijadikan cara untuk membesarkan diri. Sebab kualitas dan mutu akan memancarkan cahaya citra yang tak akan pernah padam. Nyala apinya akan baik itu akan terus membinar, tanpa perlu ditiup atau dikipas-kipas seperti hendak menghangatkan makanan yang telah basi.
Pada umumnya semua orang makfum, keikhlasan yang sejati itu tanpa pamrih, kecuali hanya untuk kebaikan semata. Dan kebaikan itu tiada perlu disesubarkan, meski semua sudah berlebihan itu tiada bertara.
Begitulah hakikat sak madio, cukup tanpa merasa ada yang kurang. Selalu menerima segala tiba, seperti kata penyair Chairil Anwar. Hingga sikap bersyukur akan senantiasa bersama zikir puja-puji atas segenap nikmat dan karunianya.
Realitasnya begitulah jalan panjang berliku yang bermula dari kebijakan untuk mendengar. Pada hakikat puncak filosogisnya dari laku spiritual ini akan membuat terang bisikan Tuhan yang tak pernah luput menyapa kita.
Menurut penyair sufi dari Negeri Timur, begitulah mata jiwa yang mampuni mendengar suara alam. Dan telinga batin melihat jelas derap langkah mentari dan rembulan yang tak letih bertambah pada pemilik tunggal jagat raya dan seisinya.