Oleh : Karno Raditya
Saat menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) nya, beberapa waktu lalu, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto sempat menegaskan bahwa Partai Golkar komit dengan regenerasi. Karena itu, regenerasi merupakan sebuah tuntutan yang harus dilakukan Partai Golkar.
Apa yang disampaikan Ketua Umum Partai Golkar tersebut, tentu cukup beralasan. Sebab, Golkar harus mendorong kaderisasi dan legitimasi. Kaum muda semakin berperan penting, bukan hanya di pemilu, melainkan untuk dinamika kebijakan ke depan.
Cukup beralasan juga, jika sejumlah pengurus partai Golkar di daerah juga menuntut komitmein itu. Diantaranya adalah datang dari Golkar wilayah Kepri, yang menuntut Anzhar Ahmad, tidak lagi mencalonkan diri menjadi ketua DPD I Golkar Kepri. Alasannya memang masuk akal, seperti yang menjadi Komitmen Ketua Umum Partai Golkar, bahwa Golkar butuh regenerasi.
Selain alasan itu. Anzhar Ahmad harusnya lebih terkosentrasi terkait imbauan Airlangga, yang mentargatkan kader di darah untuk maju di Pilkada 2020. Pada Pilkada serentak itu, Airlangga mendukung Ketua DPD I (provinsi) dan DPD II (kabupaten/kota) se-Indonesia, termasuk Ansar Ahmad (Kepri) dan Ruslan Ali Wasyim (Kota Batam) untuk diprioritaskan maju sebagai calon kepala daerah (gubernur/wakil gubernur) dan atau Walikota/Wakil Wali Kota atau Bupati/Wakil Bupati di daerahnya.
Tuntutan agar Anzhar Ahmad, tidak maju lagi di Musda Golkar Kepri Maret mendatang, karena Anzhar Ahmad sudah tiga periode menjadi Ketua, sehingga selayaknya kepemimpinan Anzhar diestafetkan, supaya cita-cita dan tujuan regenerasi di partai Golkar tidak “mandul”.
Menurut catatan penulis, Golkar Kepri memang masih piawai dalam perolehan suara pada beberapa Pemilu lalu. Meski begitu, kepiawaian Golkar secara nasional tidak sehebat masa lalu. Pada masa Orde Baru (Orba), Golkar pernah menjadi partai yang menguasai hampir seluruh daerah di Riau dan kepulauan Riau. Kala itu, Golkar terlalu digdaya dari partai lain hingga meraup suara mencapai 90 persen. Bahkan secara nasionalpun Golkar juga pernah meraih dukungan di atas 70 persen, sehingga mampu menyandang sebagai kekuatan “single majority”.
Desakan perlu adanya regenerasi Golkar Kepri, juga menucul dari kader dan pengurus Kosgoro Kepri. Kenapa pula muncul dari Kosgoro ? Lho jangan pernah sepelekan suara Kosgoro. Sebab sejarah mencatat eksistensi Golkar tak bisa dilepaskan dari peran Kosgoro.
Kalau kita menengok ke belakang, sejarah Partai Golongan Karya diawali dengan berdirinya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada akhir pemerintahan orde lama era Presiden Soekarno, tepatnya pada 20 Oktober 1964. Sekber Golkar lahir dengan tujuan menjadi wadah bagi golongan fungsional atau karya murni yang tidak berada di bawah pengaruh politik tertentu.
Jumlah anggota Sekber Golkar bertambah pesat dan akhirnya dikelompokkan menjadi tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO) berdasarkan kekaryaannya. Tujuh KINO itulah yang mendasari keikutsertaan Golkar sebagai kontestan pemilihan umum pada orde baru tahun 1971.
Tak dipungkiri memang, kala itu institusi militer, terutama Angkatan Darat, dalam kehidupan politik masyarakat Indonesia pascarevolusi kemerdekaan punya andil bedar terhadap Golkar. Kena itu terjadi, alasannya karena waktu itu sekitar tahun 1960-an, pimpinan AD melihat kekuatan PKI semakin besar.
Untuk membendung pengaruh politik kiri, AD membentuk beberapa lembaga yang berafiliasi dengannya. Berbagai Badan Kerja Sama (BKS) militer dengan masyarakat sipil pun dibentuk, seperti BKS Pemuda-Militer, BKS Ulama-Militer, maupun organisasi, seperti SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia), Koperasi Simpan Tabungan Gotong Royong (Kosgoro), yang kemudian menjadi  Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR).
Golkar yang merupakan pendatang baru di dunia politik kala itu, berhasil membuat musuh-musuh politiknya tercengang karena sukses mengalahkan Partai Nahdlatul Ulama, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Muslimin Indonesia dengan 34.348.673 suara (62,82%). Bahkan perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh provinsi Indonesia. Di tahun yang sama, tepatnya pada 17 Juli 1971, Sekber Golkar berubah menjadi Golkar.
Kemenangan Golkar kembali terulang selama lima pemilu setelahnya. Hal ini karena Presiden Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang berpengaruh positif terhadap kemenangan Golkar. Salah satunya peraturan monoloyalitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mewajibkan seluruh PNS untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golkar.
Peraturan monoloyalitas akhirnya dicabut pada orde reformasi, tepatnya 21 Mei 1998, dan Golkar berubah wujud menjadi Partai Golkar dengan Akbar Tandjung sebagai Ketua Umum. Pencabutan peraturan yang sudah dijalankan selama 27 tahun tersebut menyebabkan penurunan tajam jumlah suara Partai Golkar.
Dari 84.187.907 suara (74,51%) pada pemilu 1997 menjadi 23.741.749 suara (22,44%) pada pemilu 1999. Meski demikian, Partai Golkar masih mengamankan peringkat kedua di bawah PDI Perjuangan.
Sejarah mencatat, kelihaian politik dan kekuatan jaringan politik Golkar membuat kemenangan itu berulang terus dalam lima kali pemilu pasca-1971. Pada pemilu terakhir era Orde Baru, yaitu Pemilu 1997, Golkar bahkan mendapat perolehan suara tertinggi, yaitu 74,5 persen suara. Di di luar Jawa, seperti beberapa provinsi di Sulawesi, perolehan suara Golkar bahkan mencapai 90 persen lebih.
Partai Golkar (PG) memiliki 2.785 kursi parlemen di seluruh wilayah Indonesia. Hal itu merupakan hasil Pemilu Legislatif (Pileg) tanggal 17 April 2019 lalu. Penulis mencatat, hasil Pileg menempatkan PG meraih 85 kursi di DPR. Dengan perolehan itu, Golkar menempati peringkat kedua dalam perolehan kursi di DPR pusat. Di tingkat provinsi, Golkar meraih 309 kursi. Sementara di tingkat kabupaten dan kota, Golkar memiliki 2.391 kursi.
Saat berbincang dengan penulis beberapa waktu lalu, Ketua Umum Kosgroro 1957Â Agung Laksono, juga mengingatkan bahwa sebagai ormas pendiri Partai Golkar, dan salah satu sumber calon pemimpin, pihaknya mendorong percepatan kaderisasi di Partai Golkar.
Terkait soal komitmen Golkar dalam hal kaderisasi, kepada penulis Airlangga juga pernah menyebutkan bahwa, kaderisasi dengan memberikan kesempatan bagi generasi muda menjadi penerus partai amat penting untuk dilakukan.
Karena itu, menurut hemat penulis kaderisasi dan legitimasi pada kaum muda bukan hanya di pemilu, melainkan juga di Musda DPD Golkar Kepri. Ada sejumlah nama yang digadang-gadang bisa mengganti Anzhar Ahmad di Musda DPD Partai Golkar Kepri Maret 2020. Diantaranya muncul nama Ketua Kosgoro 1957 Kepri Taba Iskandar, yang juga Wakil Ketua Komisi I DPRD Kepri, lalu Bupati Karimun, Aunur Rafiq, dan Ruslan Ali Wasyim (Wakil Ketua II DPRD Kota Batam).
Sementara hasil penelisikan penulis di DPP Partai Golkar, ternyata partai berlambang beringin ini tengah sibuk memprioritaskan pengurus DPD I dan DPD II untuk maju dalam Pilkada serentak 2020. Obsesi Partai ini menang 60 % di Pilkada 2020.
Golkar memang harus mendorong kaderisasi dan regenerasi. Kaum muda semakin berperan penting, bukan hanya saat pemenangan pemilu, melainkan untuk berperan menentukan kebijakan ke depan. Selamat ber Musda untuk Golkar Kepri. (karno raditya)