Oleh: Jacob Ereste
Komplek Candi Muara Takus diyakini banyak orang sebagai jejak peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang pernah berjaya di Nusantara pada masanya.
Letak komplek percandian Muara Takus itu relatif dekat dari Palembang yang diperkirakan juga sebagai lokasi dari kerajaan Sriwijaya dengan Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Riau. Bahannya bangunan Candi yang ada di Sumatera ini sungguh unik, setidaknya bila dibandingan dengan bahan yang digunakan untuk semua candi yang ada di pulau Jawa, karena memang bangunan candi yang ada di Sumatera terbuat dari batu pasir, batu sungai dan batu batu yang cukup kokoh, hingga masih lumayan utuh dan awet bertahan sampai hari ini sejak didirikan pada kisaran abad ke 4 hingga abad ke 7.
Karena usianya yang cukup tua itu pula komplek percandian yang ada di Sumatra punya daya tarik untuk ditelisik secara keilmuan dan kesejarahan dan kebudayaan terkait dengan nuansa Budha yang kental.
Namun yang pasti, peninggalan sejarah besar masa silam suku bangsa Nusantara ini menunjukkan peradaban keilmuan dalam bentuk bangunan konstruksi dan seni arditektur bangsa Nusantara sudah sedemikian dahsyat maju terutama untuk muatan nilai spiritual yang menjadi milik khas bangsa Timur. Sebab bangunan serupa percandian yang ada di Nusantara ini — hingga kemudian menjadi Indonesia setelah dimerdekakan pada tahun 1945 menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia — sungguh tiada taranya di dunia.
Komplek Percandian Muara Takus,m berada di Desa Muara Takus ini memang punya sejumlah candi, seperti Candi Sulung, Candi Mahligai, Candi Palangka, dan Candi Bungsu. Senya berada dalam komplek percandian ini dipercaya oleh masyarakat setempat bahwa setiap bulan purnama selalu didatangi serombongan gajah putih untuk bersimpuh dengan penuh hidmat beberapa saat lamanya, seperti sedang melakukan upacara ritual tanpa pernah diketahui pasti maknanya.
Padahal yang pasti ada di komplek percandian ini adalah patung binatang singa. Konon cerita yang dari para peneliti bahwa sosok Singa itu merupakan sublimasi dari perwujudan energi positif untuk menghalau energi negatif. Dan makna folosofis dari Singa ini juga dipercaya sebagai pembawa cahaya terang untuk menerangi kegelapan. Dan dalam perspektif Budhis, patung singa ini juga dipercaya sebagai wujud dari Sang Budha yang berasal dari keluarga Sakya.
Namun yang pasti, Kerajaan Sriwijaya pada masa keemasannya dulu banyak dicatat oleh para ahli sebagai pusat pembelajaran agama Hindu dan Budha di dunia. Karena itu, bukan mustahil jika komplek percandian di pulau Sumatra ini bisa dikelola dengan maksimal hingga tidak sekedar dijadikan obyek wisata budaya semata — maka dapat menjadi destinasi wisata spiritual yang mampu menjadi sarana promosi, publikasi dan diplomasi untuk budaya dalam arti luas, tak sekedar menjadi sumber devisa bagi negara semata. Karena ruh spiritual yang menyemburat dari sejumlah peninggalan masa lampau para leluhur suku bangsa Nusantara ini, merupakan ruh, marwah yang menyunggi martabat bangsa yang tinggi dan agung.
Banten, 23 Oktober 2022