Banten, (Triknews.co) – Penemuan Nisan dengan tulisan epitap Sultan Mahmud di komplek makam Sultan Maulana Yusuf Banten dengan tipologi pasai peralihan 1600an, menguak kebohongan sejarah dan memiliki dampak besar dalam arsitektur sejarah kesultanan banten dan kerajaan Sunda. Temuan ini mengkonfirmasi keyakinan dzurriyat, tokoh dan masyarakat Banten bahwa tidak pernah ada ” penyerbuan kerajaan Sunda di Pakuan Bogor” yang dilakukan pada masa Sultan Maulana Yusuf. Kisah ini jelas merupakan produk adu domba Belanda dalam memutus hubungan Banten dan Sunda yang sejak lama harmonis yang dipromotori dan di desain oleh Snouck Hurgronje.
Pada kunjungan di tahun 1514, Tome Pires mengungkapkan kerajaan Sunda memiliki 6 pelabuhan di wilayah Sunda yang terhampar dari pelabuhan Banten sampai pelabuhan Cimanuk. Pada tahun 1540, Joao Da Barros dalam Decadas Da Asia mengungkapkan hal yang sama, bahwa Banten masih bagian dari kerajaan Sunda namun rajanya telah berganti dari Sang Hyang yang lama kepada Sanghyang yang baru dan Sanghyang yang baru menolak pendirian benteng portugis di Sunda Kelapa dan juga menyerahkan kota Banten.
H. Sariat Arifia menerangkan “Baik nisan Sultan Hasanudin, Sultan Yusuf dan Sultan Muhammad dengan nisan Sultan Mahmud di komplek Maulana Yusuf nisannya sama-sama bertipe pasai peralihan, namun perbedaannya, Sultan Mahmud nisannya memiliki inskripsi epitap tulisan Sultan Mahmud, Selasa (11/7/23).
Masyarakat sudah lama mengetahui bahwa Gelar Sultan hanya diperoleh pada masa Sultan Mahmud, namun temuan ini menegaskan salah satu bukti arkeologis pemberian gelar ” Sultan” tersebut memang benar terjadi pada masa Sultan Mahmud”.
Hal ini menepis fitnah yang sudah lama sekali diberikan kepada Sultan Yusuf, bahwa kerajaan Sunda hancur karena diserbu oleh Beliau pada tahun 1580. Bilamana memang kerajaan Sunda runtuh pada masa beliau, maka seharusnya kita sudah bisa melihat inskripsi Sultan di nisan Sultan Yusuf karena Banten sudah terlepas dari kerajaan Sunda. Namun, ternyata epitap ini hanya di temukan pada masa Sultan Mahmud. Sehingga dengan demikian pengenaan gelar Sultan Banten terjadi setelah penyerbuan besar besaran Belanda ke Sunda Kelapa.
Apalagi Tome Pires, telah menegaskan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa adalah pelabuhan terpenting dan terbesar Kerajaan Sunda. Oleh karena itu penyerbuan Belanda di Sunda Kelapa yang waktu itu telah bernama Jakarta, memusnahkan Kerajaan Sunda. Selama ini fitnah keji dan cerita produksi husein Snouck Hurgranye melakukan adu domba dengan mengembang biakkan cerita penyerbuan Sultan Yusuf ke Kerajaan Sunda dengan tujuan adu domba sehingga persatuan antara Sunda dan Banten hilang dan Belanda bisa semakin mudah menguasai tanah jajahan.
Tubagus Safarudin (Sultan Plituk) selaku Ketua Umum Dzurriyat Maulana Yusuf dengan tegas menyampaikan “Kami sebagai dzuriyat ingin berbakti dan membersihkan nama beliau yang di fitnah ratusan tahun sementara buktinya tidak ada. Hari ini semua fitnah-fitnah kepada Maulana Yusuf harus berakhir! Berita penyerbuan oleh Maulana Yusuf itu tidak benar dan bagian dari konspirasi Belanda adu domba!”.
Tubagus Jempol, dari Yayasan Lawang Agung, memberi komentar “penemuan nisan ini tonggak baru bagi masyarakat Banten, segenap komponen masyarakat banten harus bersatu padu membangun narasi baru bahwa Belanda lah yang menghancurkan kerajaan Sunda, bukan Banten. Kita selama ini telah makan sejarah sejarah yang di produksi Belanda. Saya mengundang para sejarawan atau pegiat sejarah untuk datang ke Banten dan mengungkapkan Sejarah Banten yang terbebas dari kontaminasi penjajahan. Pintu saya 24 jam terbuka untuk itu”.
Abah Yadi sejarawan dan budayawan Banten dari, Klinik Pusaka Banten mengungkapkan harapannya “sudah saatnya sejarah Banten, dikaji lebih mendalam dan lebih komprehensif agar sejarah Banten yang benar benar hidup di hati, dan pikiran orang Banten bisa dijadikan catatan sejarah Indonesia”. (ril).