Oleh: Mirza Maulana*), Presiden Mahasiswa Universitas Sains Cut Nyak Dhien Langsa
Langsa: Trik News.co – Kembalinya Pulau panjang, pulau lipan, pulau mangkir ketek, pulau mangkir gadang ke wilayah hukum Aceh disambut meriah oleh berbagai kalangan. Namun bagi Mirza Maulana, Presiden Mahasiswa Universitas Sains Cut Nyak Dhien (USCND) Langsa, euforia administratif ini tak boleh menjadi pengalih dari tugas yang jauh lebih besar.
“Kembalinya empat pulau ini bukanlah akhir perjuangan, melainkan awal dari ujian hakiki atas kredibilitas pemerintahan,” tegas Mirza dengan nada penuh refleksi.
Ia menilai, keputusan administratif tersebut hanyalah rekonsiliasi geografis. Namun yang paling mendesak, kata Mirza, adalah rekonsiliasi kehidupan. “Masyarakat pesisir di kawasan itu sudah terlalu lama terabaikan. Jangan sampai kita menjadi ureueng meukat lada bak ujeun gaki—bersimbah keringat menanam di ujung kaki, tetapi lupa memanen saat buahnya ranum,” ungkapnya, menyampaikan kekhawatiran atas potensi kelalaian setelah kemenangan hukum ini.
Mirza mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan pulau-pulau tersebut sebagai panggung pertunjukan kekuasaan. “Kami memperingatkan: jangan sampai pulau-pulau ini berubah menjadi sandiwara politik. Di mana mercusuar dibangun sebagai simbol prestise semu, sementara nelayan masih mengais ikan dengan perahu bocor,” kritiknya tajam. Ia menambahkan bahwa terlalu sering infrastruktur megah hanya menjadi latar foto seremonial yang menjual citra, bukan menyentuh realita. “Jangan sampai dermaga megah hanya menjadi properti dokumentasi, sementara cold storage tak pernah wujud. Ini bukan tentang mengejar proyek mercusuar yang cahayanya tak sampai ke gubuk nelayan, melainkan membangun mercusuar kesejahteraan yang nyata,” ucap Mirza.
Ia menegaskan bahwa pembangunan di pulau-pulau ini harus dimulai dari perencanaan yang berpihak pada ekosistem dan kearifan lokal. Pemerintah, menurutnya, wajib mengeluarkan cetak biru pembangunan yang secara eksplisit menolak segala bentuk eksploitasi tambang maupun alih fungsi lahan secara masif. “Pulau-pulau ini harus dijadikan episentrum ekowisata bahari, pusat riset biota endemik Selat Malaka, dan ladang energi terbarukan. Transformasi kan mereka menjadi laboratorium hidup ekonomi sirkular, bukan ladang ekstraksi,” tegasnya lagi.
Mirza juga menyoroti pentingnya pengakuan terhadap hak ulayat sebagai pondasi utama kedaulatan masyarakat lokal. Ia meminta agar masyarakat adat dilibatkan sebagai penjaga pulau, bukan hanya dijadikan penonton atau bahkan korban dari proyek-proyek investor. “Tolak praktik tanah dihabiskan izin, nelayan digusur proyek. Kembalikan ruh hukom adat laôt dalam pengelolaan sumber daya. Jangan sampai pulau-pulau ini lepas dari Sumatra Utara hanya untuk jatuh ke tangan pemilik modal,” ungkapnya prihatin.
Soal anggaran, ia menyampaikan kritik keras terhadap potensi kebocoran dalam pengelolaan Dana Otonomi Khusus (Otsus). Menurutnya, dana yang semestinya menjadi penopang kesejahteraan warga sering kali hanya tampak besar di permukaan, tetapi bocor dalam praktik. “Dana Otsus bukan lumbung di laut yang terlihat megah tapi dasarnya berlubang.
Audit publik harus dilakukan setiap triwulan, dan setiap rupiah harus jadi jembatan emas bagi masyarakat,” tekan Mirza. Tak hanya berhenti pada pemerintah, Mirza juga mengajak kalangan kampus untuk turun tangan. Ia menyebut universitas sebagai institusi yang seharusnya menjadi meunasah—tempat nalar dan nurani bermuara. “Pemerintah harus mendengar suara nalar, bukan hanya suara kuasa. Bentuk forum pengawas independen yang melibatkan mahasiswa, dosen, dan LSM lokal. Kami, mahasiswa, siap menjadi sireum ie—semut air—yang konsisten mengawasi setiap kebijakan yang rawan kebocoran,” ucapnya lugas.
Bagi Mirza, momen ini adalah momentum peralihan dari simbol ke substansi, dari peta ke penghidupan, dari kekuasaan ke kedaulatan rakyat. Ia menutup pernyataan dengan kalimat tegas, “Kalau empat pulau ini telah kembali ke pangkuan Aceh, maka biarkan rakyat Aceh pula yang memeluknya dengan martabat, bukan dengan janji kosong.” (**)