Langsa: Trik News.co – Keputusan Mendagri bukan sekadar kesalahan administratif, ini adalah bentuk terang-terangan dari kolonialisme epistemik, demikian kata Mirza Maulana, Presiden Mahasiswa USCND kepada trik news.co, di Langsa, Minggu (15 Juni 2025).
Lanjut Mirza menambahkan, “Jakarta memandang Aceh sebagai ladang eksperimen kebijakan tanpa mengindahkan realitas historis, ekologis, dan sosial budaya. Ini adalah bentuk invasi senyap terhadap martabat intelektual daerah.
Mirza menambahkan, empat pulau yang dialihkan ke Sumatera Utara melalui keputusan sepihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yaitu Pulau Mangkir Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang.
“Ini bukan hanya perkara batas wilayah, tapi persoalan jantung otonomi Aceh. Mereka mencoba menghapus identitas geospasial kami dari peta. Ini bukan sekadar pulau; ini adalah ruang belajar generasi Aceh, maka dari itu, jika menyentuhnya berarti merobohkan menara pengetahuan.”
“Sebagai Presiden Mahasiswa USCND, sambung Mirza lagi, saya menekankan bahwa ini adalah krisis epistemologi kebijakan. “Negara gagal membedakan ‘administrasi’ dari ‘eksistensi’. Empat pulau ini bukan benda mati.
“Mereka adalah entitas hidup, penuh cerita, sejarah, dan nilai komunitas. Memindahkannya ke Sumatera Utara sama dengan memindahkan gunung ke tengah pasar: absurd, tidak etis, dan inkonstitusional.”
Mirza menambahkan bahwa Kemendagri telah tersandera dalam fetisisme teknokrasi. Mereka menyulap peraturan lama sebagai dalih, padahal semangat otonomi dan realitas lokal telah jauh berkembang. Ini adalah apa yang kami sebut di USCND sebagai ‘kriminalitas legalistik’—yakni ketika hukum dipakai sebagai alat represi struktural dengan wajah administratif, sebutnya.
Mirza kembali menegaskan, “Kami, mahasiswa USCND, bukanlah barisan yang akan menunduk pada kekuasaan yang melupakan akar sejarah. Kami telah diajarkan bahwa ilmu bukan hanya soal angka dan peta, tapi juga tentang nilai, identitas, dan perlawanan terhadap hegemoni. Maka kami berdiri, bukan hanya sebagai mahasiswa, tapi sebagai penjaga akal sehat kebijakan.”
Ia juga menuntut agar Kementerian Dalam Negeri menghentikan praktik perancangan kebijakan tanpa partisipasi publik. “Jika Aceh terus diabaikan sebagai subjek hukum dan hanya dijadikan objek regulasi, maka ini adalah pembunuhan karakter terhadap otonomi khusus yang telah diperjuangkan dengan darah dan diplomasi.”
“Dan kepada seluruh mahasiswa di Nusantara,”tambah Mirza, “jika hari ini pulau kami dipindahkan tanpa suara kami didengar, maka besok giliran suara kalian akan dibungkam. Aceh hari ini adalah cermin masa depan republik, kami tidak menolak pembangunan—kami menolak pembodohan yang dibungkus dalam dokumen lega, jelas Mirza seraya menanyakan.
Ingat amalan Cut Nyak Dhien: *’Beudoh bak mata uroe, tameubiet bak mata ie!’* (Tampil bagai matahari terbit, tenggelam bagai mata air). Kami akan terus menyala sampai kebenaran menemukan jalannya, tutup Mirza. (B.01/Mz).