Langsa: Trik News.co – Langsa kembali bergolak. Praktik politik uang yang mencoreng demokrasi mencuat ke permukaan setelah dua pemuda, SM (28) dan MIM (25), tertangkap basah membagikan amplop berisi uang pecahan Rp50 ribu serta kartu nama pasangan calon nomor urut 02, Jeffry Sentana S Putra dan M Haikal Alfisyahrin ST.
Aksi ini terjadi di Dusun Samudera, Desa Asam Peutek, dan barang bukti yang ditemukan—amplop, kartu nama, hingga nomor ponsel—menjadi sinyal kuat bahwa pelanggaran ini bukan sekadar rumor.
Namun, yang lebih mencengangkan adalah sikap Polresta Langsa. T Reza Isfa, juru bicara Distrik Laskar Panglima Nanggroe Langsa, lantang mempertanyakan netralitas institusi tersebut.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa pelaku politik uang dibiarkan bebas tanpa pengawasan? Apakah kepolisian sudah kehilangan keberanian, atau ada indikasi keberpihakan?” sergah Reza, yang akrab disapa Ampoen.
Menurut Ampoen, ini bukan sekadar pelanggaran teknis.
“Uang Rp100 ribu—harga yang bahkan tak cukup untuk membeli satu kilogram daging—dijadikan alat untuk membeli suara rakyat. Ini penghinaan terhadap demokrasi,” tegasnya.
*Pisau Tumpul Pasal 73 UU Pilkada*
Kasus ini menyodok persoalan inti dalam Pasal 73 Ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Aturan tersebut menyatakan pasangan calon yang terbukti melakukan politik uang secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dapat dibatalkan pencalonannya. Tetapi, sejarah membuktikan, Pasal 73 lebih sering menjadi sekadar ancaman di atas kertas.
“Jika terbukti TSM, pasangan calon bisa dibatalkan. Tapi tanpa bukti kuat yang mengaitkan aksi ini langsung ke tim kampanye atau pasangan calon, peluang pembatalan paslon hanya sebatas angan-angan,” ujarnya.
Praktik ini memang tampaknya memenuhi unsur masif, namun apakah cukup terstruktur dan sistematis?
Hingga kini, bukti yang ada belum cukup untuk menyeret pasangan calon 02 secara langsung.
Jika pelaku lapangan bungkam atau jaringan besar tak diungkap, kasus ini berpotensi redup di tengah jalan.
*Langsa dan Bireuen: Dua Wajah Penegakan Hukum*
Kontras dengan kasus di Langsa, Kepolisian Resor (Polres) Bireuen bertindak tegas dalam menangani dugaan politik uang.
SF, seorang warga yang tertangkap dengan barang bukti uang tunai Rp300 ribu, langsung ditahan oleh polisi setelah dilaporkan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih).
“Penahanan dilakukan sejak Sabtu malam, dan akan berlangsung hingga berkas perkara lengkap (P21). Jika prosesnya rampung dalam seminggu, segera kami limpahkan ke kejaksaan,” ujar AKP Adimas Firmansyah, Kepala Satuan Reskrim Polres Bireuen.
Langkah ini menjadi preseden positif bagi penegakan hukum pemilu.
Namun, di Langsa, aksi serupa justru tak kunjung mendapat respons tegas dari aparat.
*Panggung Demokrasi atau Dagelan Politik?*
Kepolisian, Panwaslih, dan Kejaksaan memiliki tugas bersama dalam Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu) untuk menangani tindak pidana pemilu.
Panwaslih bertugas menerima laporan, kepolisian bertindak sebagai penyidik, dan kejaksaan bertugas menuntut. Namun, di Langsa, kolaborasi ini tampak mandek.
“Jika Langsa tidak mengambil tindakan tegas, demokrasi akan semakin ternoda. Pembatalan paslon 02 bukan sekadar hukuman, tetapi pesan bahwa uang tidak bisa membeli suara rakyat,” tambah Ampoen.
Kini, warga Langsa menanti jawaban: akankah pelaku dan aktor intelektual politik uang ini diadili?
Atau, sekali lagi, Pasal 73 hanya menjadi macan kertas yang mengaum tanpa taring?
(Tim)