Dumai, Triknews.co, – Siang itu Darwis Mohammad Saleh duduk bersama puluhan wartawan di panggung sederhana ditengah hutan bakau (mangrove) Bandar Bakau Dumai, bagi sebagian wartawan sosok Darwis, sudah tidak asing, namun masih ada beberapa orang dari rombongan wartawan yang ikut liputan Pertamina Hulu Rokan (PHR) Wilayah Kerja (WK) Rokan, tentang penyelamatan mangrove Dumai belum mengenalnya, terlebih saat itu Darwis duduk tenang, seolah menyimpan sejuta angan angan tentang cara mengelola mangrove menjadi sumber kehidupan.
Bagi Darwis, melestarikan hutan bakau / mangrove bukan semata tempat mencari nafkah, tetapi merupakan panggilan jiwa dan simbol kedekatan spiritual, budaya. Menurutnya menjaga kelestarian mangrove yang terletak di Jalan Nelayan Laut Ujung Kelurahan Pangkalan Sesai, Kecamatan Dumai Barat adalah upaya untuk mengenang Legenda Putri Tujuh, yang dulunya merupakan tempat Kerajaan Seri Bunga Tanjung yang berkedudukan di Kuala Umai, bahkan menurut legenda merupakan asal muasal nama kota Dumai, adalah dari kata Kuala Umai.
Saya berusaha menjaga dan melestarikan mangrove, karena menurut saya areal hutan bakau adalah bagian dari peninggalan sejarah yang telah diwariskan leluhur Melayu, saat berjayanya Kerajaan Seri Bunga Tanjung, kata Darwis.
Darwis menuturkan kepada wartawan, pada awalnya, dia bersama beberapa teman seniman melayu, bersepakat menjadikan areal mangrove, sebagai tempat berkumpul, sekaligus wadah orang-orang pemerhati seni dan lingkungan, yang mempunyai niat sama untuk melestarikan hutan bakau, hanya saja rencana tersebut tidak begitu mulus, sebab tidak mendapat respon baik dari pemerintah daerah.
“ Jika dari awal pemerintah peduli, tempat yang kami benahi, sangat cocok jadi tempat pergelaran lomba baca pantun, sebab pada zaman dahulu, Melayu itu berpantun dilaman rumah menghadap pesisir pantai. ” kata Darwis.
Walaupun minim dukungan pemerintah, Darwis bersama kelompok tani binaannya yaitu Kelompok Tani Hutan (KTH) Bandar Bakau Dumai, tetap melakukan aktifitas di hutan bakau, bahkan dengan swadaya, Darwis berusaha membeli kapal pompong bekas (kapal kayu) untuk dijadikan jembatan atau tracking, agar pengunjung dapat menjelajahi beberapa titik diareal mangrove. Seiring berjalannya waktu, berkat pemberitaan wartawan cetak dan elektronik serta media sosial, mangrove kami jadi perbincangan warga kota Dumai dan mulai ramai dikunjungi masyarakat lokal, bahkan tersiar hingga tingkat nasional dan negara tetangga.
Animo masyarakat untuk berkunjung ke taman mangrove, pada masa itu cukup tinggi tetapi sayang, output-nya tidak jelas terhadap kelompok tani, karena saat itu kelompok tani belum mampu menjalankan manajemen sebagai tempat tujuan wisata, yang dapat meningkatkan ekonomi anggota kelompok tani, terlebih saat itu dinas parawisata sendiri hanya meminta data pengunjung setiap harinya, tanpa ada niat memperbaiki infrasuktur didalamnya.
Belakangan setelah kami evaluasi jika hanya mengandalkan wisata yang tidak begitu jelas nilai ekonominya kepada kelompok tani. Karena saat itu kelompok tani belum mampu mengelola sumber daya manusia dalam konteks pariwisata, ditambah adanya campur tangan beberapa instansi pemerintah, yang tumpang tindih dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD), sehingga dilapangan timbul beking membeking dan bahkan ada beredar tiket palsu. Maka beberapa saat kami sepakat untuk menutup lokasi mangrove kalau hanya untuk tujuan wisata, kata Darwis.
Berjalannya waktu, aktifitas dihutan bakau untuk wisata kami tutup, karena saat itu, pemerintah juga melarang kunjungan wisata, akibat adanya pandemi melanda dunia, yaitu pandemi covit-19, yang membuat dunia pariwisata berhenti total, termasuk di kota Dumai, sehingga kunjungan wisata juga mati suri. Namun masa itu kami tetap berkumpul dan mencari formasi yang tepat untuk menjadikan hutan bakau sebagai tempat edukasi tentang mangrove, sekaligus dapat menjadi sumber ekonomi masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani.
Setelah pandemi berlalu kami yang tergabung dalam kelompok tani, kembali menata hutan bakau sebagai tempat kami berkumpul sekaligus untuk menjaga ekosistim mangrove, dengan membangun dan merenovasi berbagai tempat, termasuk membangun home stay dan kafe tempat nongkrong anak muda pencinta lingkungan.
“ Saat itu kami melakukan uji coba, hutan bakau yang kami jaga dan kelola murni sebagai tempat wisata, namun berjalannya waktu, kami evaluasi ternyata kunjungan wisata justru berdampak buruk kepada keberlangsungan tumbuh kembangnya bakau akibat banyaknya tumpukan sampah dari pengunjung. ”
Sehingga kami yang tergabung dalam kelompok tani, sepakat menutup areal jika hanya untuk kunjungan wisata. Selain terjadinya tumpukan sampah, penerimaan dari penjualan tiket juga tidak jelas, akibat belum adanya manajemen pengelolaan wisata, belum lagi kesadaran masyarakat sekitar menganggap tidak perlu berbayar jika berkunjung dan masuk ke bandar bakau, kata Darwis.
” Semula harapan menghasilkan uang, eh malah menimbulkan tumpukan sampah. “
Saat itu kami hampir putus asa untuk menjaga dan merawat mangrove, akibat kehabisan dana, sebab untuk dapat merawat dan menata hutan bakau memerlukan anggaran, selain masalah anggaran, kami juga prihatin melihat semakin tergerusnya areal hutan bakau oleh gelombang air di kuala dumai yang cukup besar, serta terganggu oleh limbah rumah tangga dan limbah industry disepanjang pesisir kuala, begitu juga dengan luas lahanya yang terus berkurang, seiring perkembangan bangunan rumah huni dan industry di kota Dumai.
Ditengah keputusasaan tersebut, kami difasilitasi Git Fernando GIS dari Pemetaan Rimba Satwa Foundation (RSF), bersama Kelompok Tani Hutan (KTH) Bandar Bakau Dumai bertemu dengan pihak PHR WK Rokan. Gayung bersambut keinginan KTH diakomodir PHR WK Rokan manjadi suatu kolaborasi yang tidak berdasarkan berapa nilai uang, tetapi hubungan secara emosional. “ Kami tidak mengajukan dalam bentuk uang, tapi bentuk fisik infrastruktur, sebab birokrasi yang saya sepakati tidak menerima bentuk uang. “ kata Darwis.
Darwis mengatakan sejak awal memang, kami pengelola hutan mangrove tidak mendukung jika tempat tersebut hanya untuk kunjungan wisata, tetapi tujuan utama kami, manjadikan bandar bakau menjadi Edu – Ekowisata. Mengingat awal perjuangan mangrove bandar bakau juga dikenal secara nasional bukan karena banyaknya kunjungan wisata, serta adanya aktifitas menanam bakau, tetapi justru karena nilai kultur legenda putri tujuh lah yang saya angkat secara nasional, ” kalau tak ada Legenda Putri Tujuh, mungkin saya tidak terinspirasi menyelamatkan kuala sungai dumai.”
Terjalinnya kolaborasi PHR WK Rokan, RSF dengan KTH Bandar Bakau Dumai, kekhawatiran akan punahnya mangrove juga terjawab, sebab pada saat yang sama pemerintah juga telah menetapkan status hutan bakau Bandar Bakau Dumai dengan luas 25 hektar.
Sejak adanya kepedulian PHR WK Rokan terhadap KTH, wajah bandar bakau sudah tertata dengan baik, dimana jembatan / tracking bekas kapal pompong sudah diganti menjadi beton cor, yang dibangun oleh PHR WK Rokan, dengan tidak menebang pohon bakau, melainkan mengikuti beberapa lintasan yang sebelumnya telah dipola oleh kelompok tani.
Alhamdulillah sejak direnovasi beberapa akses jalan yang semula dari papan kapal bekas ke beton, serta panggung yang semula dari kayu menjadi panggung beton, pengunjung mulai ramai, dimana dalam kurun waktu, awal tahun 2023 sampai Agustus 2024, pengunjung sudah mencapai 3000 orang, yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, siswa dan siswi SD, SMP dan SMA, mahasiswa komunitas dan bahkan peneliti, yang ingin meneliti lebih detail tentang mangrove. “ kami bukan menjual tiket, tetapi kami berbagi ilmu maupun informasi seputar hutan bakau dan habitat yang ada di dalamnya,“ kata Darwis.
Kami tidak ambil pusing kalaupun saat ini belum diperhatikan oleh pemerintah maupun dinas terkait dan lembaga adat kota Dumai, tetapi kami selalu optimis akan visi misi bandar bakau yaitu “ Membangun Peradaban Dari Mangrove. “ Untuk mencapai tujuan itu kami berupaya mengisi panggung ditengah mangrove dengan berbagai pentas seni, diantaranya kampanye tentang sampah, serta kritik sosial terhadap lingkungan lewat musik ampla dan akustik, kami menghidupkan suasa teater panggung, serta menjadikannya sebagai laman berpantun, sebab menurut budaya Melayu berpantun itu dilaman rumah pesisir yang manghadap pantai, kata Darwis.
“Dirjen Kehutanan Kelautan dan Mendagri mengenal Darwis, bukan karena ahli tanaman bakau, tetapi orang yang mengangkat mangrove dari sisi kebudayaan sebagai laman untuk hidup dan bermain orang orang pesisir.
Darwis mengakui sebelum berkolaborasi dengan PHR WK Rokan, pihaknya kesulitan mencari uang untuk merawat dan menata hutan mangrove, sebab terkendala dengan pembelian polybag untuk bibit bakau serta ketidakmampuan membayar upah pekerja, namun berkat kolaborasi PHR WK Rokan, kini kelompoknya telah mampu menyediakan banyak bibit, bahkan mampu menyediakan bibit dalam jumlah besar, jika ada instansi maupun perusahaan yang memerlukan bibit bakau untuk merestorasi mangrove.
“ Peran PHR WK Rokan kepada KTH Bandar Bakau Dumai, menurut Darwis ibarat mendapat rejeki “ Pukal ” sebutan melayu yang berarti besar, jika sebelumnya hasil dari pengelolaan mangrove hanya sebatas remah atau kecil. ”
“Dengan kolaborasi efektif antara PHR WK Rokan dan RSF dengan kelompok tani hutan Bandar Bakau Dumai, telah dapat menyelamatkan dan menjaga kelestarian hutan bakau secara berkelanjutan untuk generasi mendatang.” kata Darwis.
“ Saat ini masih ada mimpi saya kedepan, yaitu membangun laboratorium Mangrove, sehingga dapat melakukan penelitian Mangrove, seperti provinsi Bali, mereka dapat meneliti buah beberapa pohon bakau yang dijadikan minuman sirup maupun makanan lainnya yang bersumber dari buah mangrove.” tutup Darwis.
Peran Pertamina Hulu Rokan (PHR) WK Rokan Sebagai Pihak Ketiga.
Hutan bakau di kuala Dumai sudah lama tidak terawat, dan memerlukan perhatian serius untuk merestorasinya, jadi sebagai perusahaan nasional yang beroperasi didaerah, PHR WK Rokan merasa terpanggil untuk berpartisipasi melaksanakan konservasi hutan bakau untuk menjaga kelestarian mangrove dan ekosistemnya, sehingga dapat menyerap karbon untuk memperbaiki kualitas udara di sekitar kawasan mangrove, demikian kata Priawansyah, Analyst Perfomance PHR WK Rokan.
Setelah duduk bersama dengan Rimba RSF dan KTH Bandar Bakau Dumai, pada tahun 2022 PHR WK Rokan mulai melakukan surveilans areal hutan bakau, dan melakukan studi banding ke kabupaten Batubara, Sumatra Utara, daerah yang pengelolaan hutan bakaunya bagus, untuk diterapkan dalam dalam pengelolaan Bandar Bakau Dumai, kata Priawansyah.
Untuk tahap awal ditahun 2022, PHR WK Rokan membangun infrastruktur berupa jalan beton, pengganti jembatan / tracking kayu, sementara sumber daya manusia yang bermukim disekitar tidak perlu lagi diajari, cukup hanya dibina, karena mangrove bukan lagi hal baru bagi mereka. “seharian mereka, ada adalah budayawan, sejarawan, yang melakukan aktifitas seni di seputaran hutan bakau.”Sehingga untuk tahap awal mereka tidak perlu diajari lagi, yang diperlukan hanyalah sport untuk tetap dapat melakukan aktifitas merestorasi mangrove disepanjang pesisir.
Penyelamatan mangrove sangatlah penting, mengingat pesatnya pertumbuhan penduduk dan juga industri di sepanjang pesisir kota Dumai, sementara di satu sisi jika tidak dikelola dengan baik, akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan mangrove, kata Priawansyah.
Rasa kepedulian itulah, maka PHR WK Rokan berpartisipasi menyelamatkan mangrove, secara berkelanjutan mulai dari aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. dengan harapan agar kawasan tersebut berdaya guna dan menjadi sumber penghidupan masyarakat tempatan.
Diawal berkolaborasi tahun 2022 sampai akhir 2023, PHR WK Rokan telah membangun berbagai infrastruktur, diantaranya 300 meter jalan beton di areal hutan bakau, panggung beton ditengah mangrove, yang dipakai sebagai tempat memberi Edukasi terkait mangrove kepada pengunjung, serta penyediaan air bersih, kamar mandi dan membangun tempat galeri sekaligus tempat selfi di gerbang masuk areal mangrove, kata Priawansyah.
Selain membangun infrastruktur, kedepan PHR WK Rokan akan terus membina sumber daya manusia para pemuda yang bermukim di sekitar lokasi hutan bakau, yang jumlahnya lebih kurang 15 – 20 orang, dan sudah punya ketrampilan baik tentang mangrove maupun seni dan budaya.
Sejak kita membangun infrastruktur jembatan kedalam areal mangrove, jumlah pengunjung jadi bertambah, hingga akhir Agustus 2024 sudah mencapai lebih kurang 3000 orang, terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, anak-anak sekolah, akademisi, dan kunjungan formal yaitu tamu-tamu dari mancanegara yang ingin melakukan riset, sekaligus kunjungan wisata, kata Priawansyah.
Pembangunan yang dilaksanakan PHR WK Rokan berbasis alam dengan tujuan agar hutan bakau tidak rusak, namun tetap dapat beregenerasi secara alami, sehingga mangrove tetap lestari. Dengan terawatnya mangrove dapat menyerap emisi karbon dan menjaga ekosistim perairan antara laut, pantai dan darat, serta dapat melindungi terjadinya abrasi pantai dari besarnya gelombang air, saat terjadi cuaca ekstrim.
Terjaganya ekosistim mangrove Bandar Bakau Dumai, maka kehidupan kelompok tani pengelolanya juga akan terbantu. ” Keindahan hutan mangrove dan keanekaragaman hayati didalamnya dapat menjadi daya tarik pengunjung, yang pada akhirnya menjadi sumber penghasilan kelompok tani.“ tutup Priawansyah. ***