Pekanbaru, Triknews.co, – Indragiri Hilir dengan ibu kotanya Tembilahan, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, jarak tempuh sekitar 6 jam 43 menit dari Kota Pekanbaru selaku ibukota provinsi Riau.
Kabupaten yang terkenal dengan sebutan Negeri Seribu Parit tersebut, berdiri sejak tanggal 20 November 1965 lalu, dan hingga saat ini penduduknya tercatat sebanyak 652.342 jiwa yang tersebar di 20 Kecamatan, 39 kelurahan, 236 Desa.
Daerah yang penghasilannya didominasi kelapa itu, diapit oleh dua provinsi yaitu Provinsi Jambi, tepatnya Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dan Provinsi Kepulauan Riau, yakni Kabupaten Lingga.
Kabupaten yang dinakhodai Drs. H. Muhammad Wardan, M.P. dan H. Syamsuddin Uti selaku bupati dan wakil bupati Kabupaten Indragiri Hilir itu, tercatat perkebunan kelapa yang saat ini produktif seluas 401.927,84 Ha terdiri dari kebun masyarakat 303.556 Ha disebut kelapa dalam atau kelapa kampung, kelapa hibrida seluas 38.404 Ha, dan perkebunan kelapa milik perusahaan swasta seluas 59.967,84 Ha. Kedepan, perkebunan kelapa di daerah ini masih sangat mungkin untuk dikembangkan, sehingga kelapa dapat kembali menjadi primadona di daerah ini.
Tidak salah jika Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) Provinsi Riau ini, mendapat julukan negeri “nyiur melambai”. Hal ini disebabkan, sejauh mata memandang, hamparan kebun kelapa menyelimuti setiap jengkal tanah yang ada.
Tidak dapat diketahui secara pasti, sejak kapan masyarakat di sana mulai menanam kelapa. Untuk menelusuri hal tersebut, puluhan Wartawan yang tergabung dalam organisasi PWI Riau, belum lama ini turun langsung ke tempat-tempat penghasil kelapa, yang dewasa ini adalah sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat Inhil.
Perjalanan puluhan wartawan yang menjadi peserta Lomba Karya Tulis Jurnalistik (LKTJ) Raja Ali Kelana sempena peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2023 tingkat Provinsi Riau, mengunjungi Inhil selama 2 hari pada 17-19 Maret 2023 lalu.
Begitu melintasi perbatasan Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) dengan Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), kita langsung disuguhi pemandangan hamparan hijaunya perkebun kelapa rakyat sepanjang kiri – kanan jalan. Tanaman kelapa rakyat tersebut, tumbuh dengan subur diantara sungai – sungai kecil, atau lebih lazim disebut parit oleh masyarakat disana. Dan mungkin hal itulah cikal bakal wilayah Indragiri Hilir lebih dikenal dengan sebutan Negeri Seribu Parit.
Enggan Melambai
Julukan “Negeri Nyiur Melambai” bagi Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), saat ini mungkin hanya sebatas sebutan atau data di pemerintah kabupaten saja. Sebab dalam kenyataannya, “nyiur” tersebut sudah enggan untuk melambai.
Mungkin oleh pemerintah daerah masih mencatatkan di Dinas Perkebunan Inhil, bahwa lebih dari 60 persen wilayah darat kabupaten ini adalah kebun kelapa, namun jika ditelusuri lebih jauh, data tersebut sudah tidak relevan dengan data riil di lapangan.
Saat ini sesungguhnya kebun kelapa yang dulunya pernah menjadi primadona daerah Inhil, sudah mulai tergerus oleh alam, dan juga kerena sebahagian masyarakat sudah ada yang membuka kebun kelapa sawit serta pinang dengan mengorbankan lahan tanaman kelapa. Hal ini terjadi akibat harga jual kelapa, belakangan ini cukup rendah, dan hanya berkisar Rp.1.500/ butirnya.
Jika selama ini masyarakat menggantungkan hidupnya dari hasil kelapa, baik sebagai buruh maupun pemilik kebun kelapa, kini justru sebagian dari mereka yang semula pemilik kebun, saat ini menjadi buruh di kebun orang lain, sebab kebun mereka banyak yang rusak akibat terendam air pasang laut.
Tidak dipungkiri tingkat kehidupan masyarakat Inhil memang sempat gemilang, baik yang berprofesi sebagai buruh di kebun orang, apalagi pemilik kebun. Masa gemilang ini menghampiri masyarakat disana adalah ketika harga jual kelapa cukup bagus, yang sempat mencapai Rp.3.500 /butir, dimana pemerintah Kabupaten Inhil pernah membuat tagline “Kelapa Menjulang Masyarakat Gemilang”.
Namun belakangan ini, nasib petani sudah tidak segemilang dulu lagi, seperti yang dikisahkan Kasiran (60), warga Kampung Hidayat Desa Teluk Dalam, Kecamatan Kuala Indragiri, Inhil kepada TrikNews, Sabtu (18/03/2023) lalu. Kasiran mengatakan, jika sebelumnya hasil kebun kelapa miliknya seluas 10 baris atau 1,5 hektar, dimana perbarisnya ditanam 35 pokok kelapa, mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Namun sejak harga jual kelapa turun, keluarganya tidak lagi dapat cuan yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Kasiran lebih lanjut bercerita, semenjak harga kelapa turun menjadi Rp.1.500/butir, Ia dan keluarga, terpaksa “gali lobang tutup lobang” karena dari harga tersebut, sebagian harus disisihkan untuk membayar upah menyolak (mengupas kelapa) kepada pekerja sebesar Rp.130 rupiah / biji, juga untuk biaya pemupukan yang dilakukan sekali setiap 6 bulan.
Sepuluh baris kelapa milik Kasiran, dipanen per 3 bulan, dengan jumlah lebih kurang 1000 buah. Harga Rp.1.500 tersebut bila dipotong upah kopek 130 rupiah/buah, yang tersisa hanya Rp. 1.370.000. Nilai tersebut pun diperoleh, karena Kasiran sendiri yang memanen (dengan mengait pakai galah) dan menghanyutkan di parit/kanal kebun menuju langkau (tempat pengupasan kelapa) di pinggir jalan.
Kasiran berharap pemerintah daerah agar memberikan perhatian serta mencarikan solusi terkait kondisi rendahnya nilai jual kelapa, untuk mengangkat perekonomian masyarakat Inhil yang bergantung di sektor perkebunan kelapa.
“Kelapa mestinya mendapatkan perhatian khusus baik dari Pemerintah maupun Swasta, mengingat kelapa merupakan pendapatan utama masyarakat Inhil yang sudah turun temurun sejak dahulu,”.
“Paling tidak disesuaikan dengan harga kebutuhan barang harian masyarakat”, ujar Kasiran.
Rendahnya harga jual kelapa, juga berdampak dan dirasakan Idrus (55), yang merupakan buruh menyolak kelapa sebutan masyarakat Indragiri kepada seseorang laki – laki yang berprofesi sebagai mengupas kelapa.
Warga asli kampung Hidayat Inhil, tersebut sejak remaja sudah mahir menyolak kelapa, dikarenakan sering membantu orangtuanya yang juga sebagai buruh menyolak, itulah awal mula Idrus punya talenta atau keahlian menyolak atau mengupas kelapa.
Idrus adalah penduduk asli kampung Hidayat Inhil, kampung lahirnya Tuan Guru Syekh Abdurrahman Siddiq atau yang akrab disapa Tuan Guru Sapat, seorang guru agama Islam (Mufti Kerajaan Indragiri), sosok yang berjasa terhadap geliat perkebunan kelapa.
Pada tahun 1918, bersama keluarga dan muridnya, Tuan Guru Sapat menggali parit – parit untuk mengatur sirkulasi air pasang dan surutnya air laut, sekaligus menyuplai kebutuhan air bagi tanaman kelapa agar tidak kekurangan air saat kemarau, dan tidak terendam saat air pasang atau hujan, yang disebut dengan kanalisasi.
Sistem kanalisasi yang dibuat Tuan Guru Sapat, saat ini disebut trio tata air (tanggul, saluran dan pintu klep) yang mampu menjadi solusi untuk mendongkrak produktifitas kelapa di Indragiri Hilir.
Saat harga kelapa masih normal, Idrus tidak perlu bekerja setiap harinya, namun belakangan, untuk dapat menutupi kebutuhan keluarga, Idrus harus bekerja setiap hari sebagai buruh tukang kopek kelapa.
Semangat pak Idrus menyolak cukup mumpuni, dimana setiap harinya harus menyolak kelapa 1000 biji, di beberapa tempat kebun masyarakat, untuk dapat membawa pulang Cuan Rp.130.000 kerumah, sebagai bekal hidup keluarganya.
Namun belakangan pekerjaan menyolak tersebut sudah tidak rutin lagi dijalankan Idrus, akibat kebun kelapa masyarakat sudah banyak yang tidak produktif, dan sebahagian rusak akibat sering terendam air pasang laut. Ada juga kebun kelapa kini sudah beralih fungsi jadi kebun sawit dan pinang. Hal ini terjadi ketika harga kelapa melorot tajam sejak setahun lalu.
“Idrus berharap pemerintah, secepat mungkin mencari solusi menaikkan harga jual Kelapa, sehingga kelapa, kembali berjaya, dan betul – betul jadi pohon kehidupan masyarakat Negeri Seribu Parit.” harapnya.
Rendahnya harga jual kelapa, juga berdampak langsung terhadap rendahnya upah pekerja kopra, sebagai buruh, pembuang jambul, buruh pikul, buruh penjemur dan pencongkel kopra.
Seperti yang dialami Yanto (53), bersama tiga teman kerjanya yaitu : Yuliana (29), Ahmad Sahri (40), Sabran (55), mereka bekerja secara kelompok diterik matahari dipenampungan kelapa bulat yang berjumlah puluhan ribu biji, mereka membuang jambul,sekaligus menyortir untuk kelapa bulat dan yang akan dijadikan kopra, di Desa Pulau Palas, kecamatan Tembilahan Hulu.
Kepada TrikNews, buruh yang bekerja secara kelompok di penampungan kelapa itu bercerita, untuk pembuangan jambul, mereka dapat upah Rp.50 rupiah/biji, sementara untuk upah belah dan langsir ke tempat penjemuran, mereka menerima upah Rp. 100 rupiah/biji, pencongkelan atau pemisahan antara batok dan daging kelapa, dihargai Rp. 30 rupiah/ kg.
Mereka belum tentu mengerjakan semua onggokan kelapa yang jumlahnya puluhan ribu biji sampai ke tahap pencongkelan kopra, sebab yang akan dijadikan kopra hanyalah kelapa yang berkualitas kurang baik (pecah, hitam akibat terendam air, atau lambat dipanen serta berukuran kecil), sementara kelapa dengan kualitas lebih baik (bulat) dipisahkan untuk dijadikan kelapa sayur untuk konsumsi rumah tangga.
“Sehingga bila hanya mengerjakan pembuangan jambul, mereka harus mampu mengerjakan1000 biji/orang untuk dapat membawa pulang Cuan Rp.50.000,-“
Sebelumnya, untuk menghidupi keluarganya Yanto, cukup mengerjakan kebun kelapa miliknya seluas 22 baris, di Pulau Palas Tembilahan Hulu. Namun belakangan kebunnya tidak lagi bias diharapkan untuk menopang ekonomi keluarga, sebab kebun kelapa miliknya, mati akibat terendam air pasang laut, serta sebagian hanyut akibat abrasi sungai.
Rusaknya kebun miliknya membuat Yanto terpaksa menjadi buruh di toke penampung kelapa bulat untuk Kopra, sebagai buruh pembuang jambul kelapa untuk menghidupi keluarganya.
Disatu sisi, pemerintah Kabupaten Inhil, sebagaimana yang disampaikan Sekretaris Dinas Perkebunan, Abdurrahman, mewakili Bupati Inhil, saat silaturahmi Pemerintah Kabupaten Inhil dengan Wartawan rombongan PWI, yang juga dihadiri Managemen Group PT. Pulau Sambu, Sabtu (18/03/2023) lalu di Tembilahan.
Dalam pertemuan yang bertajuk “Kelapa untuk Kesejahteraan masyarakat” itu, Abdurrahman memaparkan, untuk menyelamatkan perkebunan kelapa masyarakat, pemerintah kabupaten Inhil, berupaya :
1. Menyediakan bibit Varietas Unggul, yang dikeluarkan Dinas Pertanian Indragiri Hilir, melalui SK Menteri Pertanian Nomor 107/Kpts/KB.010/2/2017 tentang Pelepasan Varietas Sri Gemilang, sebagai Varietas Unggul Tanaman Kelapa.
2. Membangun Tanggul (Trio Tata Air), untuk mengantisipasi perkebunan terendam air pasang laut dan air hujan, sekaligus berfungsi untuk mengairi kebun kelapa saat musim kemarau.
3. Melakukan peremajaan (replanting) kebun yang tidak produktif/tua, terlebih yang rusak akibat terendam pasang air laut, haya saja terkhusus peremajaan kebun kelapa masyarakat pihaknya mempunyai kendala, sebab ternyata sebagaian kebun masyarakat saat ini, banyak yang masuk dalam kawasan hutan.Karena itu Pemkab harus mengajukan izin dulu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, baru dapat di replanting.
Bahkan untuk promosi potensi kelapa, pemerintah melakukan berbagai terobosan ke negara luar, salah satunya lewat pegelaran Festival Kelapa Internasional (FKI), pada tahun 2017 lalu. Saat itu Inhil dipercaya sebagai daerah pertama tuan rumah penyelenggaraan FKI, yang dihadiri para delegasi dari Malaysia, Belanda, Singapura, Thailand, India, Sri Langka, Tiongkok, dan sejumlah pemerintah daerah penghasil kelapa di Indonesia.
“Berbagai inovasi, regulasi dan kebijakan terus digencarkan Pemerintah Kabupaten Inhil, demi kemajuan budidaya tanaman kelapa dan peningkatan kesejahteraan petani,”
Untuk meminimalisir rendahnya (fluktuasi) harga jual kelapa, pemerintah berupaya memutus rantai panjang pasar produksi, dengan membangun akses jalan menuju sentra perkebunan, dan berupaya membuka peluang peluang usaha turunan kelapa, termasuk menggandeng pihak swasta seperti PT. Pulau Sambu.
Abdurrahman memaparkan saat ini produksi kelapa petani mencapai 5,5 miliar butir per tahun, sementara daya tampung perusahaan yang ada di tembilahan hanya berkisar 1 – 1, 8 milliar butir per tahun. Sehingga setiap tahunnya lebih kurang 3 – 3,7 milliar butir pertahun, dibawa keluar Tembilahan, seperti ke Pekanbaru, ke Jakarta, bahkan juga dikirim ke negara tetangga.
Rendahnya harga jual kelapa tersebut juga mendapat perhatian dari PT Pulau Sambu. Hal itu disampaikan Humas PT.Pulau Sambu Ahlim Ginting, saat silaturahmi dengan Rombongan Wartawan PWI Riau. Menurut Ahlim Ginting, saat ini pihaknya membuat posko penampungan kelapa untuk mengurangi rantai pasar yang panjang pemasaran kelapa Masyarakat.
Ginting mengatakan, lesunya perkelapaan di Inhil, karena kelapa hanya dijadikan sebagai bahan baku minyak goreng. Itupun tidak semua kelapa yang kita olah menjadi minyak goreng, dimana kelapa tersebut kita bagi berdasarkan mutu A dan B. kelapa yang memang mutunya (B), inilah yang diolah menjadi minyak, sedangkan yang menjadi unggulan adalah kelapa (A). Kelapa bagus, yang diambil air dan santannya. Sementara saat ini ada beberapa industri minyak goreng yang tutup, akibat kurangnya permintaan pasar, dan juga karena kalah bersaing dengan minyak goreng kelapa sawit, ujar Ginting.
Masih menurut Ginting, untuk menjamin harga kelapa, pemerintah sebaiknya membuat regulasi tata niaga kelapa seperti halnya kelapa sawit, sehinga pemerintah ikut menentukan harga eceran tertinggi (HET) buah kelapa, bukan seperti saat ini harga kelapa tergantung sepenuhnya kepada pasar, ujarnya.
Selain membuat regulasi harga, ada baiknya dilakukan diversifikasi perusahaan yang ada di Inhil, sehingga ada alternatif penjualan kelapa masyarakat, bukan lagi tergantung kepada satu jenis industri. “Semakin banyak industri tentu makin banyak bahan baku yang dibutuhkan” ujar Ginting.
Lebih lanjut Ginting menjelaskan, PT Pulau Sambu, dalam perjalanannya, terus berinovasi. Selain produksi minyak goreng, perusahaan tersebut juga telah memproduksi santan kelapa dan nata de coco dari bahan baku air kelapa, yang saat ini keduanya merupakan produk unggulan perusahaan, dimana hal ini dipastikan akan banyak menampung kelapa masyarakat, salah satu strategi untuk membantu petani supaya harga tidak anjlok.
Selain melakukan diversifikasi keberadaan Industri yang sudah berdiri, pemerintah juga harus mampu, mendatangkan investor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, membangun industri pengolahan turunan kelapa di Tembilahan, sehingga akan memberikan nilai tambah baik kepada jumlah tenaga kerja, pajak, dan yang lainnya.
“ Harga kelapa bisa naik kalau ada permintaan pasar yang besar, baik untuk Industri di Tembilahan, maupun permintaan dari luar negeri, yang tata niaganya di kelola dengan baik, sehinga bea keluar atau pajak ekspor kelapa, menjadi sumber pemasukan bagi Negara, “ ujar Ginting.
Jika memang harus dijual keluar negeri, harus jelas regulasinya diatur pemerintah, bukan seperti sekarang ini, mereka buka industri, tapi bahan baku dari sini (Tembilahan). “Ini maaf, kita seperti dibodohin, mereka ngak perlu kebun kelapa, kita dapat yang susah disini,” ujarnya.
Kita memang tidak tau pasti, apakah industri hilir kelapa yang saat ini berkembang di negara tetangga seperti : Malaysia, Belanda, Singapura, Thailand, Vietnam, India, Srilangka, Tiongkok, apakah itu dari kelapa yang tidak tertampung oleh industri yang ada di Tembilahan, namun yang pasti jika beberapa industri hilir kelapa itu berada di Inhil, maka semakin besar PAD (Pendapatan Asli Daerah). ungkap Ginting.
Selain menambah PAD, dengan bertambahnya industri hilir kelapa di Tembilahan, maka semakin banyak pula menyerap tenaga kerja masyarakat tempatan, yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian masyarakat. Demikian juga dengan kehadiran perusahaan, secara tak langsung juga dapat membantu masyarakat lewat Corporate Sosial Responsibility (CSR).
Corporate Sosial Responsibility (CSR) telah diatur undang undang Nomor 40 Tahun 2007. Sudah menjadi kewajiban bagi sebuah perusahaan, baik itu perseroan maupun BUMN, untuk menjalankan program Corporate Social Responsibility (CSR), atau juga biasa disebut sebagai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
Melalui CSR, perusahaan ikut membantu dan mengembangkan masyarakat setempat. “CSR merupakan komitmen berkelanjutan dari dunia usaha untuk berkontribusi kepada pengembangan ekonomi demi meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi komunitas setempat atau masyarakat luas”.
Semoga berbagai upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir, mampu menjawab semua keluhan petani baik sebagai buruh maupun pemilik kebun kelapa.
Sehingga kedepan keluh kesah yang selalu menghantui dan dirasakan petani kelapa, yaitu rendahnya harga kelapa dapat teratasi, dan pada akhirnya kejayaan‘Negeri Seribu Parit, Hamparan Kelapa Dunia,” kembali menjadi identitas dan jati diri Kabupaten Indragiri Hilir yang juga dijuluki“Negeri Seribu Parit, Hamparan Kelapa Dunia”.
Bila harga jual kelapa kembali normal, maka kehidupan penduduk Kabupaten Indragiri Hilir, akan makmur, terutama mereka yang bergantung pada perkebunan kelapa, sehingga wajar jika mereka menganggap kelapa, merupakan“pohon kehidupan”.
Dikatakan demikian, karena dari akar sampai pucuk, daun, pohon kelapa, semuanya dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Daun kelapa, misalnya, dapat dimanfaatkan untuk atap rumah, bahan kulit ketupat, janur, dan sapu lidi.
“Produksi dari buah kelapa juga cukup banyak turunannya, Selain santan juga ada VCO (Virgin Coconut Oil), Coco Fiber, Nata de Coco, Kara, Dydor Coco, Carbon, Briket, dan Gula,” (Manaor Sinaga)