Jacob Ereste
Generasi milineal jaman naw sulit diharap bisa muncul dan tampil dari lembaga resmi yang dikelola pihak swasta maupun pemerintah. Karena mereka harus tumbuh dan berkembang sendiri atas inisiatif dirinya masing-masing.
Generasi milineal yang menempuh pendidikan formal di lembaga apapun namanya, hanya akan muncul dan tampilĀ sebagai pembaharu jamannya atas kreasi dan inisiatif sendiri. Tak ada jaminan dari satu lembaga itu yang bisa mencetak dengan presisi yang hasil dari pendidikan yang dilakukan persis seperti target yang disesumbarkan, kecuali atas usaha dominan dari yang bersangkutan. Sebab orientasi dari hampir seluruh lembaga pendidikan formal, dan lembaga semi formal yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun pihak swasta sekedar hendak memberi stempel belaka sekedar untukĀ mengukuhkan populeritas dari lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Slogan bebas dari sekolah memang sudah dilontarkan pemikir kritis sejak 30 tahun silam, setidaknya pemikirannya itu bisa dijadikan acuan evaluasi untuk berpikir ulang pada kepasrahan terhadap lembaga pendidikan formal maupun lembaga pendidikan non formal yang terlanjur menjadi tumpuan untuk membangun watak, karakter, mental dan etika serta moral maupun akhlak anak cucu kita untuk menggamit masa depan yang baik, terhormat dan mulia sebagai khalifah di muka bumi.
Kaderisasi dari partai politik atau bahkan dari organisasi kader yang pernah hidup subur pada 30 – 40 tahun silam di Indonesia, kini tak lagi bisa diharap hasilnya. Sebab ada semua serba setengah matang. Karena kaderisasi yang dulakukan lebih bersifat ideoligis pun, sudah memble.
Ibarat pemain sepakbola pada lini terdepan, misalnya, mulai dari lini tengah hingga lini kiri dan lini kanan tak ada yang cukup bisa dibanggakan. Jika pada jaman HOS. Tjokroaminoto dulu bisa lahir sejimlah tokoh kiri, kanan dan tokoh tengah hanya dari rumah kost di Paneleh, Surabaya itu — kini sekedar mimpi seperti berharap lahirnya sejumlah tokoh hebat yang lahir dari persalinan percantrikan di Kayu Tanam, Sumatra Barat dahulu itu. Hari ini mimpi itu kembaliĀ mulai dengan cara membuat sejumlah Posko Negarawan — mesti idealnyaĀ juga ada Posko Kebangsaan — untuk sekedar mengembangi kegundahan hati terhadap generasi masa depan yang pantas mewarisiĀ segenap pernik meliknya negeri ini.
Partai politik di Indonesia yang sepatutnya lebih mengutamakan kaderisasi politik agar sosok yang tampil kemudian bisa mengelola negeri ini lebih baik, sepantasnya harus bisa lebih maju dan lebih elegan dengan mengacu pada peradaban dan cara berpolitik yang senantiasa harus dan wajib diorientasikan bagi bangsa dan negara agar bisa lebih baik dan lebih santun untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan cita-cita negara seperti yang termaktub dalam UUD 1945 maupun sila dari Pancasila yang diyakini sebagai falsafah bangsa dan ideologi negara.
Kegaduhan politik yang semakin liar menjelang Pemilu, Pilpres maupunĀ Pilkada, sungguhĀ jelas merupakan penyebaran benih penyakit yang bisa menjadi wabah yang mengancam kehidupan bersama. Sebab pandemi busuk ituĀ sedemikian liar tanpa kendali. Karena tujuan utamanya adalah memenangkan pertarungan dengan cara apapun.
Secara kasat mata, ranjau yang tersebar jelas terlihat dari balik spanduk dan baliho yang ngeracau tentang seribu janji bersama racun dan pembius warga masyarakat untuk ikut mabuk dan terlibatĀ merebut gelandang kekuasaan.
Bingkisan dan sembako pun, meninabobokkan rakyat hingga semakin gemar bermalas-malas tanpa usaha yang berkeringat.
Begitulah pendidik politik bernegara kita, semua serba diinginkan dalam bentuk instan. Sosok pemimpin pun disesuaikan dengan selera pembayar iklan. Model pasar bebas yang jadi mantra kaum kapitalis yang kini sudah berjubah neo-liberal itu, menjadi makin mempesona pandangan mata rakyat yang sudah terjebak di gudangĀ Ā materialisme. Maka itu etika, moral dan akhlak yang tersimpan dalam memori dan naluri spiritualĀ kita sejak jaman leluhur harus segera ditubus dari pegadaian rentenir yang kini mengepung hidup kita.
Banten, 15 November 2022