Oleh: Jacob Ereste
Daya nalar generasi milineal hari ini, paling jauh sebatas cukup sampai reformasi 1998 yang ujungnya masih bisa mereka nikmati dan tonton. Selebihnya, cuma khayalan generasi tua saja yang selalu ingin memaksakan kehendak dan seleranya sendiri. Padahal, generasi milineal hari ini sudah punya keasyikannya sendiri.
Jadi selebihnya biarlah tinggal dalam buku sejarah yang mungkin pula tidak lypa dituliskan. Sebab budaya bernarasiria kita pun sudah terpenggal oleh  teknologi yang semakin pongah meninggalkan masa lalu. Karena itu mimpi untuk mengenang sejarah kejayaan Sriwijaya dan Majapihit misalnya, jadi ciciran belaka. Semacam dongen yang tak bermutu yang mengganggu khayalan tentang masa depan yang lebih rumit dan rumit untuk dihitung dan dikalkulasikan untung dan ruginya bagi generasi masa kini. Karena kisah masa lalu yang paling kampiun dan mencengangkan sekalipun sulit mereka temukan relevansinya dengan tantangan yang harus mereka hadapi hari ini yang serba nyata adanya.
Untuk menjadikan dongeng sebagai penghantar tidur pjn sudah tidak mecing dengan suasana yang bisa mereka peroleh lebih gampang dan praktis lewat media sosial yang sesuka hati untuk dipilih, tanpa merepotkan orang tua atau Mbok Emban yang masih kita anggap mereka perlukan sebagai sisa dari budaya feodal yang senantiasa merasa perlu untuk dilayani sekaligus ingin selalu dimanjakan.
Watak dari sikap dan sifat kolektif itu hanya muncul dari kesadaran dan pemahaman kolektif pula. Sementara pelatihan untuk membangun kesadaran dan pemahaman terhadap sikap dan sifat kolektif sudah lama tercerabut dari akar lingkungan keluarga serta tata pergaulan yang serba lebih keras lagi hentamannya di tempat kerja, karena diam-diam setiap individu dibuat bersaing secara langsung msupun tidak oleh lingkungan di dalam tata pergaulan maupun di tempat kerja. Bahkan nuansa persaingan pun kerap dibumbui oleh kecurangan untuk saling membinasakan, mulai dari karier, reputasi atau bahkan posisi hingga jabatan yang telah menjadi ajang rebutan. Itu sebabnya sejumlah titel dan gelar bahkan ijazah palsu diperlukan. Meski cuma sekedar pembangkus wajah, seperti naik haji dan umruh yang dilakukan dengan semangat wisata, bukan lagi upaya yang sakral dan disadari sebagai laku spiritual.
Maka itu menilik masih adanya celah bermimpi untuk tumbuhnya kesadaran dan pemahaman kolektif dari bilik aktivis pergerakan, karena masih tersisanya kesadaran pada prasarat untuk kegigihan berjuangan secara murni dan tulus untuk lebih dapat dikedepankan. Sebab dalam habitat aktivis pergerakan tetap secercah harapan dibanding dari bilik politik atau sektor ekonomi yang lebih abai pada sikap dan sifat kolektif yang mereka perlukan. Sebab bagi kaum aktivis pergerakan adalah kebodohan manakala abai pada sikap dan sifat kolektif, kebersanaan untuk menjadi bekal perjuangan dalam mendorong cita-cita luhur demi dan untuk rakyat banyak. Sebab sifat dan sikap individual, egoistik serta kejumawahan rasa hebat sendiri telah membuktikan sekedar untuk memelihara kelompok saja tak bisa dilakukan. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki naluri dan hasrat bebas dan merdeka, tidak ada yang boleh merasa lebih hebat dari yang lain. Begitulah, kesadaran spiritual bahwa di atas langit masih ada langit.
Tentu lain ceritanya untuk aktivis dan kaum pergerakan gadungan yang cuma ingin memposisikan status sosialnya untuk kepentingan dirinya sendiri. Jadi jelas pada bilik politik ada pertarungan untuk selalu menang, termasuk dari kawan seperjuangan sendiri. Tkh, pajem dari mereka yang berkutat di bilik politik selalu pongah mengatakan, tak ada tenan yang abadi, yang ada hanya kepentingan sendiri. Jadi, ketika mengalami kekalahan harus dan mutlak untuk ditanggung sendiri. Msja itu, kesetiaan dalam politik sekedar mantan untuk membius lawan politik tanpa kecuali bagi kawan sendiri.
Demikian pula dari sektor ekonomi, karena untung dan rugi menjadi pakem patokan yang pasti. Jadi, hanya dalam area sosial dan budaya saja, kedadaran dan pemahaman bersama atau budaya kolektif mungkin dapat bertumbuh dan terpelihara subur menjadi penghias tamansari dari peradaban baru yang akan mematik dan berbuah dengan wanginya yang semerbak untuk masa depan. Bila tidak, maka hidup dan kehidupan di masa depan akan semakin sampek dan pengab.
Narasi dari paparan ini memang lebih mengistimewa kan habitat kaum aktivis dan pergerakan, karena harapan ideal yang selalu ingin dan hendak diperjuangkan dengan gigih dan konsisten sangat mulia dan luhur demi dan untuk rakyat. Karena itu, aksentuasi dari sanepo ini patut dipahami lebih bijak, karena pengharapan satu-satunya untuk melakukan perubahan, hanya ada dalam gerak langkah kaum pergerakan yang gigih dan konsisten menggenggam kebenaran, tanpa keluh kesah lapar. Sebab memang begitulah panggilan sejati jiwa yang tulus dan ikhlas demi anak cucu dan generasi bangsa.
Sekelumit paparan ini sekedar untuk bahan renungan menyambut Hari Soempah Pemoeda yang nyaris seabad kisah sejarahnya yang berpijak pada kesadaran bertanya air satu, berbangsa satu dan bahasa satu, yaitu Indonesia yang sejatinya bebas merdeka dari bangsa asing maupun oleh bangsa sendiri.(Erest)