MALANG- Triknews.co – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengatakan perubahan konstitusi yang dilakukan pada periode 1999 hingga 2002 turut menyebabkan paradoksal di sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah).
Menurut LaNyalla, setelah perubahan tersebut Pasal 33 UUD ditambah menjadi 5 ayat, dari sebelumnya 3 ayat dan naskah Penjelasannya dihapus total. Hal itu membuat sistem ekonomi Indonesia berubah menjadi sistem ekonomi liberal kapitalistik.
“Mekanisme ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar. Sehingga semakin memperkaya orang per orang pemilik modal, termasuk modal asing,” ucapnya, dalam Kuliah Umum Wawasan Kebangsaan dan Kewirausahaan, di Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jumat (21/19/2022).
Padahal, seharusnya ada proses usaha bersama antara tiga pilar ekonomi Indonesia, yaitu koperasi atau usaha rakyat, perusahaan negara dan swasta, baik nasional maupun asing.
Di sektor UMKM, LaNyalla mengatakan pemerintah harus terus mendorong agar semakin banyak lahir UMKM atau UKM, melalui beragam skema bantuan dan pelatihan. Namun stimulus itu tidak dibarengi dengan kehadiran pemerintah dalam memastikan keberadaan eksisting market atau angka pasti jaminan ketersediaan pasar.
“Pelaku UMKM terus disuruh produksi. Calon-calon pelaku UMKM diberi pelatihan supaya berani terjun sebagai wirausahawan. Namun sama sekali tidak ada data riil tentang berapa jumlah market yang dapat menyerap produk mereka,” ujar dia.
Akibatnya sesuai hukum ekonomi, jika supply terlalu banyak, sementara demand tidak ada, yang terjadi adalah penurunan harga, atau pelaku usaha gulung tikar. Oleh karena itu bukan penambahan jumlah wirausahawan yang terjadi, tetapi penambahan jumlah penduduk miskin.
“Ini persoalan serius di pemerintahan kita. Karena orientasi angka yang dihitung adalah sudah berapa banyak ijin usaha yang dikeluarkan dan sudah berapa banyak jumlah UMKM yang berdiri. Celakanya kita tidak punya data konkret berapa jumlah UMKM yang gulung tikar dalam jangka waktu tertentu. Juga data serta informasi spesifik yang menjelaskan mengapa gulung tikar,” kata dia.
Sementara dalam perkembangan ekonomi digital melalui Platform Marketplace di Indonesia juga sama saja. Menurutnya, Indonesia didominasi produk barang impor dari Tiongkok. Padahal nilai transaksi marketplace di Indonesia di tahun 2020 lalu, mencapai Rp. 266 triliun.
“Artinya uang Rp 266 triliun itu mayoritas kita belanjakan untuk produk impor, karena anak bangsa ini hanya menjadi para penjual di marketplace. Mereka hanya mendapat sedikit keuntungan dari penjualan. Nilai tambah utama ada pada produsen di negara asal barang itu” paparnya.
Hal ini menjadi paradoks ketika keinginan untuk meningkatkan fondasi ekonomi rakyat dari sektor UMKM tidak diikuti dengan usaha yang maksimal dalam mewujudkan.
Berbagai paradoksal itulah yang membuat LaNyalla menawarkan gagasan untuk kembali kepada Pancasila. Kembali kepada konsep ekonomi dalam Pasal 33 naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya sebelum dilakukan Amandemen Konstitusi.
“Sudah seharusnya Indonesia kembali berdaulat, berdikari, mandiri dan Indonesia bisa menjadi negara unggul dengan pengelolaan kekayaan alam yang benar,” ungkap LaNyalla yang juga alumni Universitas Brawijaya Malang itu.
Dijelaskannya, negara dengan keunggulan komparatif seperti Indonesia sangat tepat bila Konstitusi memerintahkan agar negara ini menguasai bumi air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Serta mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak.
“Kepentingan nasional suatu negara, terutama dalam konteks ekonomi adalah di atas segala-galanya. Makanya dalam norma hukum internasional, kedaulatan negara, termasuk dalam konteks ekonomi, dapat dijalankan secara bebas sesuai kepentingan negara tersebut, selama tidak melanggar kedaulatan negara lain,” tegas dia.
Dalam acara tersebut Ketua DPD RI hadir bersama Ketua KADIN Provinsi Jawa Timur Adik Dwi Putranto. Sedangkan Rektor UB Malang diwakili oleh Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Internasionalisasi, Prof. Dr. Ir. Muhammad Sasmito Djati, para Wakil Rektor lainnya, para Dekan, para Dosen dan para mahasiswa UB Malang. (Lies/ril)