Oleh: Jacob Ereste
Kisah perjalanan di lorong gelap yang sunyi dan Sepi di negeri sendiri, kata kawan saya yang acap disebut kawan-kawan yang lain adalah sufi, tetap enggan menjelaskan apa sebabnya ia tiada pernah berhenti untuk menggiring angin, tak hanya dari Timur ke Barat, tapi terus menembus delapan penjuru secara acak tidak bisa diduga sebelumnya.
Inilah salah satu misteri dirinya yang tak pernah bisa dipaham. Dia pun merasakan semuanya itu adalah hal yang biasa-biasa saja. Karena memang sungguh banyak hal yang harus dan patut ditampilkan dengan cara yang paling sederhana, meski semua ditekuni dan dilakukan tidak dengan yang tekad dan kegigihan.
Cercah muatan nilai spiritual yang tersemai dalam pembukaan IUD 1945 hingga Pancasila yang mengurai greget spiritual dalam semua sila-silanya yang utuh, karena memang tidak pernah tersentuh sejak disusun dan dirumuskan hingga saat dideklamasikan sejak beberapa tahun silam sampai hari ini.
Lalu banyak orang riuh menyatakan diri Pancasilais, sekedar untuk tidak disebut komunis. Begitulah konon cerita kelahiran dari Ekasetya Pancakarsa — pedoman baku untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yang dikukuhkan oleh Ketetapan MPR No. II/ MPR/ 1978 yang kalau boleh diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia yang bisa mudah untuk dimengerti dan dipahami adalah satunya janji atau tunggalnya tekad dari lima kehendak (sola-sila Pancasila), meski hingga kini semua itu sekedar pemanis bibir belaka.
Pada persilangan ini tampaknya jadi relevan menoleh pada BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila), hingga fungsi dan tugas pembinaan untuk Pancasila sebagai ideologi negara sepantasnya mengutamakan para aparatur negara, setelah semua aparatur negara ini terbina baru layak dan pantas dilanjutkan pada rakyat kebanyakan. Atau setidaknya, bagi pengusaha yang semakin birahi menjadi penguasa. Atau justru sebaliknya.
Tampaknya, karena BPIP melempem dan terus asyik mematut-matut dirinya sendiri dengan posisi yang mentereng itu dengan nilai gaji yang amat sangat asuhan, terlenalah untuk menjalankan fungsi dan tugas mulutnya itu, sehingga para pelaku tindak kejahatan yang dilakukan oleh aparat pemerintah maupun aparat negara — utamanya para penegak hukum — semakin marak dan norak, seperti perilaku jaksa, hakim dan aparat kepolisian yang melakukan penyimpanan atau membelot dari tugas dan fungsinya, yang sepatutnya mengamankan justru mereka yang harus diamankan.
Yang tidak kalah tragis dan mrmiluksn adalah perilaku korup itu juga dilakukan oleh kalangan akademisi dari kampus, khususnya dunia pendidikan — atau bahkan dari instansi keagamaan. Padahal mereka selayaknya menjadi benteng budaya bangsa. Pembina dan penjaga etika dan moral generasi penerus bangsa dengan akhlaknya yang mulia.
Kapling yang terkesan diabaikan oleh BPIP inilah yang kini mulai digarap oleh GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) dengan membumikan Pancasila lewat jalan setapak spiritual yang gelap.
Sila-sila Pancasila itu bisa diusut muatan nilai spiritualitasnya antara sila yang dengan sila yang lain. Sehingga hakikatnya yang bermula dari Tuhan — Allah SWT — akan kembali kepada yang asal juga. Persis seperti siklus hidup yang diyakini dengan cara paling sederhana warga masyarakat Sunda Wiwitan yang meliputi Tuhan, manusia dan alam.
Dalam pemahaman Islam dan tradisi keyakinan Jawa, percaya pada akan akhirat itu merupakan bagian dari keimanan terhadap Tuhan. Sehingga pengertian dari hidupan di dunia ini sekedar mampir “ngombe”, karena meyakini kehidupan yang abadi itu jelas adanya di akherat.
Harapan GMRI dengan gerakan kebangkitan dan kesadaran spiritual yang terus digelorakan tak lain agar adanya sikap ugahari dalam memandang segala hal yang bersifat duniawi. Bukan hanya yang maujud materi, tapi juga jiwa yang tamak, rakus dan jemarik, termasuk kekuasaan yang telah membius hingga khilaf dan lupa diri hingga terjerembab dalam kehinaan yang bermartabat. Apalagi sekedar untuk meyakini diri sebagai khalifatullah di muka bumi.