Oleh: Jacob Ereste
Sebagai rasa syukur warga komunitas masyarakat *AKUR* Sunda Wiwitan Cigugur menerima cinderamata berupa Patung Lodaya sebagai karya terbaik Maestro pematung kelas dunia, I Nyoman Nuarta yang diperuntukkan secara spesial sebagai tanda kasih dalam peringatan Milangkala Pupuhu Pangeran Djatikusumah yang ke 93 tahun, akan diresmikan pada hari, Sabtu 15 Oktober 2022, pukul 07.30 di halaman Gedung Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur Kuningan Jawa Barat.
Acara akan dengan kolaborasi sajian budaya Adat Bali dan Adat Sunda yang mengusung tema BaliKaSunda, kata Eko Sriyanto Galgendu lewat rilis resminya yang mewakili keluarga masyarakat AKUR Sunda Wiwitan, Kamis petang, 13 Oktober 2022 sambil bersiap untuk hadir bersama Tim GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) yang memperjuangkan gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual untuk bangsa Indonesia guna menyambut peradaban dunia yang baru untuk masa depan.
Sebagai wakil keluarga warga Sunda Wiwitan, Eko Sriyanto Galgendu mengundang dengan segala kerendahan hati, memohon doa serta kesudian hadir kepada yang berminat untuk ikut menjadi saksi sejarah pertautan budaya dalam kewelas asihan, ungkapnya.
Pemahaman terhadap ajaran Sunda Wiwitan yang bermula dari Muhamad Rais yang lebih familiar disebut Madrais itu, dijaga dengan baik oleh generasi penerus, Pangeran Djatikusumah yang dikenal dalam pikukuh yang memusatkan perhatian pada hubungan — trilogi — Tuhan, manusia dan alam.
Ajaran kemuliaan para leluhur ini, tidak hanya sebatas monoteisme, karena justru lebih konfrehensif mengatur tarta hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan alam.
Laku spiritual kepercayaan yang khas bercorak lokal Jawa Barat ini, terdapat di berbagai tempat, tidak cuma di Cigugur, Kuningan, tetapi juga ada di Kenekes, Lebak, Citagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi dan Kampung Naga.
Ajaran dan pemahaman Sunda Wiwitan untuk pertama diperkenalkan oleh Sadewa Alibassa Koesoema Widayaningrat, atau Muhamad Rais dan yang lebih populer disebut Madrais.
Konon kisahnya, tokoh utama cikal bakal Sunda Wiwitan ini pun memiliki garis keturunan dari Walisongo, putra dari Pangeran Keraton Gebang yang bernama Alibassa dengan permaisuri R. Kastewi berasal dari keturunan Tumenggung Jatadipura yang terlahir pada 9 Maulud 1765 Hijriyah (1832 Masehi) di Susukan Ciwagebang.
Ketika masih dalam usia balikan itu, ayahnya sedang diburu oleh kolonial Belanda, sehingga sang orok Madrais ditutipkan kepada Ki. Sastrawardana di Cigugur.
Pada tahun 1869 Masehi, Madrais mukai terlibat pertempuran melawan Belanda di Tambun, Bekasi. Ia dikenal dengan sebutan Rama Pangeran Alibassa dari Cirebon.
Setelah lama bertahan di Candana, ia mendapat pencerahan utamanya dalam strategi melawan Belanda, hingga tak lagi senata-mata dengan fisik, tetapi lewat budaya yang menggugah kesadaran jatidiri kebangsaan yang sejati.
Atas tipu daya Belanda, keluhur Pangeran Djatikusumah ini, sempat disingkat oleh Belanda di Merauke antara tahun 1901 hingga 1908. Begitulah, kisah leluhur warga masyarakat Cigugur, sejak dari pengasingan hingga kembali ke Desa asalnya di Cigugur ketekunannya menuliskan tuntunan hidup dan kehidupan yang kemudian lebih dikenal — sebelum wafat pada tahun 1939 — ajaran dan tuntunan Sunda Wiwitan, yang kini berada dalam asuhan Pangeran Djatikusumah. Dan pemahaman terhadap Sunda Wiwitan bagi GMRI sendiri, menjadi sangat relevan, sebagai petugas sekaligus pengayom untuk kemuliaan para pemuka agama maupun umatnya yang ada.
Keutamaan serta keselamatanya GRMI bersama Sunda Wiwitan, kata Eki Sriyanto Galgendu adalah komitmen terhadap jagat raya yang diekspresikan dalam tatanan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Maja itu, GMRI merasa berkewajiban untuk hadir pada acara peringatan Milangkala Pupuhu Pangeran Djatikudumah ke- 93 di Kuningan, Jawa Barat, pada 15 Oktober 2022
Banten, 13 Oktober 2022