Oleh: Jacob EresteĀ
Kritik bisa saja sekeras batu cadas. Tapi tata krama — utamanya tata bahasa — perlu ada tepa selira. Artinya, tidak elok jika berkata seenak udelnya sendiri.
Kawan saya seorang tukang kayu, tetap punya punya filosogis halus, seperti caranya menyerut kayu agar bisa lebih elok ditampilkan, meski tetap harus bersikap tak berlebihan, tak sampai norak hingga terkesan kempungan.
Untuk memuji pun tak perlu berlebihan, sehingga tidak perlu terkesan jadi penjilat yang selalu menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
Pepatah lapuk seperti itu, agak sepadan dengan ungkapan kiwari yang mengatakan burung tempuaĀ tak mungkin akan bersarang rendah.Agaknya, itulah sebabnyaĀ Ā banyak orang sekarang yang menjadi salah tafsir tentang mulutmu adalah harimaumu. Sebab mereka kebanyakan tak hendak lagi menoleh kebelakang. Ibarat sopir yang baru pandai mengemudikanĀ kendaraan, ia belumĀ menganggap penting gunanya kaca spion. Karena birahinya cuma mau nemacu kenderaannya meluncur paling cepat di depan. Kegandrungan seperti itu mungkin cuma sekedar untuk menguji nyali apakah dirinya pun sudah cukup memiliki bakat sebagai pembalap di tahun 2024.
Ketika masuk pada tikungan pertama sudah tergelincir, sesal memang tak lagi adaĀ gunanya. Karena yang lebih penting adalah mengaca diri, sambil memohon maaf pada seisi jagat, mungkin semua makhluk hidup ada ikut pula memaki dengan sumpah serapahnya.
Sepenggal kisah yang tak saya ingat dari sumbernya itu, kembali mengusik memori saya,Ā ketika mengikuti berita kemaran Bapak-bapak Tentara Republik Indonesia yang diamsalkan seperti getombolan. Istilah kata gerombolan sendiri memang untuk menunjuk sekumpulan makhluk, namun istilah gerombolan itu sendiri terlanjur punya stigma buruk. Jadi wajar jika TNI yang saya cintai itu spontan naik pitam. Sebab kesannya bukan lagi hendak mengktitik, tapi sudah terkesan mengolok-olok jika belum bisa disebut menghina atau melecehkan.
Sebab hinaan dan pelecehan itu umumnya dilakukan oleh orang yang bersangkutan karena memandang rendah.
Dalam pengertian serupa inilah saya bisa memahami reaksi TNI yang sangat mulia dan terhormat itu karena fungsi dan tugasnya untuk bangsa dan negara Indonesia sungguh mulia untuk menjafa ancaman dari pihak siapun.
Ungkapan Effendi Simbolon yang terus menuai arus balik itu — kritik yang mrmbadai dari warga msyarakat — pun patut dipahami sungguh untuk menjaga etika mulia dalam konteks kemanusiaan yang adil dan beradap. Jadi berharap semua tetap berada dalam kerangka filosofis ideologis yang luhur dan mulia sebagai pegangan bersama dalam menata bangsa dan menata negara dengan Pancasila.
Maka itu pun, sikap tegas KSAD Jendral Dudung Abdurachman yang spontan memberi maaf seraya meminta semua prajurit meredakan amarahnya, sungguh bijak. Namun untuk melihat posisi Efendi Simbolon bukan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, perlu diluruskan. Karena pernyataan Efendi Simbolon itu jelas jelas dalam kapasitas sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki imunisasi untuk menyampaikan pendapat dan kritik demi dan untuk bangsa dan negara.
Masalahnya adalah semera dari bahasa ucap Efendi Simbolon jadi terkesan miring.
Apalagi kemudian tetus diambuh oleh Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan DPRI RI Habiburrokhman pihaknya akan memanggil Kelala Staf TNI AD, Jendral Dudung Abdurachman terkait video dirinya yang memerintahkan jajaran TNI AD yang beredar luas di masyarakat yang terkesan mengintimidasi DPR RI, ujar Habiburokhman, 14 September 2022 kepada media di Komplek Parlemen Senayan. Sedangkan Efendi Skmbolon sudah meminta maaf, dan Jendr Dudung Abdurrachman pun sudah memaafkan, seperti pernyaataannya 14 September 2022, saat berkunjung ke Desa Kesumbo Ampai, Bengkalis, Riau.
Perkara pokoknya pun tidak lagi dianggap penting, namun akibat selera bahasa ucap semata. Namun kekeliruan mendengar pun, suara harimau yang mengaum juga bisa salah diterka menjadi dikira suara kambing yang lagi mengembik. Karena bagaimana pun, kritik itu pertandaĀ cinta kepadaĀ Tentara Nasional Indonesia juga.
Banten, 16 September 2022