Oleh: Budi Sudarman, SE
‘Kenapa kusam sekali wajah Abang?” Sesaat Bang Putra masuk ke warung kopi tempat biasa kami mangkal untuk berkumpul. Sembari meletakkan tasnya ke meja dan mengeluarkan rokok
“Wak buatkan kopi untuk bang Putra, biasa ya”(maksudnya :utang dulu) ujarku kepada Wak Jum.
“Apa cerita nih bang, kusut kali kutengok wajah Abang” tanyaku penuh selidik sambil kutatap wajah bang Putra.
Sesaat kopi datang, sambil menghisap rokoknya bang Putra bercerita : “sudah panjang kujalani dunia jurnalis ini” seperti senior kita Rosihan Anwar, Gunawan Muhammad dan banyak lagi lah” “sudah kuikuti juga perkembangan zaman terkini mendirikan Media Online, bukan soal hasil agar diriku kaya, punya aset berlimpah, bukan?”
“Ada begitu banyak hal yang belum ku sanggupi apa yang menjadi aturan dan kebijakan bersama” ada kesan kecewa tergambar di kening bang Putra.
“Aku tak ingin mediaku dan diriku ini mendapat sebutan Abal-abal karena tak mampu melewati proses itu”
Asap rokok mengebul memenuhi ruangan. Sembari menyeruput kopinya bang Putra melanjutkan “zaman Orba, memang tak bisa dan tak gampang buat media” , “masa itu hanya Radio, media cetak dan hanya TVRI, belakangan aja ada TPI sama RCTI yang berkembang sampai sekarang sehingga di daerah pun banyak tv lokal setelah Orde Reformasi”.
“Nah kesulitan Abang itu hanya soal menggaji karyawan Abang sebagai persyaratan agar bisa diverifikasi Dewan Pers” tambah bang Putra lagi.
“Bukankah hal yang bagus dan tepat sekali bang jika Dewan Pers membuat persyaratan seperti itu?” “Rasa bentuk tanggung jawab terhadap awak medianya” ujarku lagi.
“Benar apa yang kau sampaikan itu Lih, (dari nama panggilanku Galih).”dulu zaman Orba pun mana ada gaji abangmu ini” sementara Abang Kabiro daerah yang menjalankan Koran harian setiap hari, ya setiap hari,!” ” ya dari situlah ganti gaji Abang”
“Setelah masukkan koran ke kantor-kantor kebun, Abang titip koran di SPBU, di kedai sama di Warung Kopi”.
“Taulah masyarakat kita masa itu, minat baca kurang yang tak berubah sampai sekarang”
“Koran kusut, uang tak ada” sembari tergelak terbahak-bahak bang Putra mulai berubah sumringah.
“Kalau kusut berarti ada yang dibaca bang” tanyaku lagi.
“Kusut bukan mau baca terus dibeli, tapi cuma lihat kode SDSB sama cerita kartun bersambung”
“Hahahaha…. hahahaha” gelak kami berdua. Sampai kawan-kawan sesama jurnalis melirik ke arah kami.
Sejak pertemuan dengan seniorku, bang Putra soal verifikasi media ternyata sekarang diriku yang ikutan suka termenung.
1001 tanya terus bermunculan dalam benakku.
Era Reformasi, euforia mendirikan Media semakin terbuka. Bak cendawan di musim hujan. Apalagi dunia teknologi mengadopsi industri 4.0. setiap pribadi mampu menjadi Pemred sekaligus pewarta. Yang membedakannya di legalitas hukum.
Mendirikan Industri media harus melengkapi berbagai persyaratan, mulai Badan Hukum, Rekomendasi dari Kominfo, NPWP ke kantor Pajak, Jamsostek, Slip gaji, ikut anggota Serikat/Komunitas media, Tata laksana Redaksi belum lagi verifikasi faktual yang harus datang dari Jakarta ke daerah.
Sama seperti UKM, industri media pun mengalami hal yang sama. Yang utama adalah modal usaha dan modal kerja, yang telah tercantum pada Akta Pendirian Perusahaan.
Tentu tidak semudah seperti halnya bisnis yang lain. Begitu ada berita langsung menghasilkan gemerincing uang logam. Atau pihak yang ingin bekerjasama dalam iklan, belum tentu mau menggelontorkan dana ke pihak media.
Andai saja ada pengakuan dari pihak pemerintah terhadap Dewan Pers lainnya. Tentu akan lebih baik.
Andai saja sebutan semacam Komisi Pers Indonesia, Dewan Pers Indonesia, Dewan Etik Jurnalis dan lain sebagainya tentu pelangi warna-warni akan muncul di langit Nusantara.
Keberagaman jangan membuat takut akan timbul semrawut. Nilai-nilai transparansi serta independensi akan lebih manusiawi.
Berbagai andai….andai….dan andai….
“Ini sertifikat Uji Kompetensi Wartawan tingkat Madya anda telah keluar semoga profesionalisme sebagai wartawan anda semakin lebih baik”
“Mas, tolong angkatkan galon itu ke dispenser ya…” istriku membangunkan dari tidurku sambil menggoyangkan lenganku. Tanpa kusadari aku terlelap di kursi dan ternyata aku sedang bermimpi menerima Sertifikat Uji Kompetensi Wartawan.